Jawa Barat

Timeline Sejarah Pembuangan Sampah Bantar Gebang, Tahun Ini Setinggi 16 Lantai

23 September 2025 | 01:21 WIB
Timeline Sejarah Pembuangan Sampah Bantar Gebang, Tahun Ini Setinggi 16 Lantai
Ilustrasi tempat pembuangan akhir (Meta AI)

Tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, kembali menjadi sorotan publik.

rb-1

Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, mengaku terkejut saat melakukan kunjungan mendadak ke lokasi tersebut.

Menurutnya, volume sampah di Bantar Gebang kini sudah menyamai tinggi gedung 16 lantai.

Baca Juga: Gempa Hari Ini: Bekasi Alami Guncangan Tiga Kali

rb-3

“Saya pakai baju ini tadi habis lihat sampah di Bantar Gebang. Saya kira cuma di kita sampah jadi gunung, kalau disetarakan dengan gedung bisa 16 lantai,” ujar Zulhas dalam acara Food Summit 2025 di Hotel Saint Regis, Jakarta, pada 19 Maret 2025.

Zulhas menambahkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menugaskannya untuk menuntaskan persoalan sampah dengan mengubahnya menjadi sumber energi baru. Ia menunggu Instruksi Presiden (Inpres) untuk segera mengeksekusi proyek pengolahan sampah tersebut.

Baca Juga: Kronologi Warga Cikarang Tertipu Modus BLT UMKM oleh Pria yang Datang ke Rumah

Dari Sampah Jadi Energi

Ilustrasi tempat pembuangan akhir (Meta AI)Ilustrasi tempat pembuangan akhir (Meta AI)

Saat ini, di Bantar Gebang sudah tersedia teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) yang mampu mengubah sampah menjadi bahan bakar alternatif bagi industri semen.

Namun, teknologi ini hanya bisa bekerja optimal jika sampah dipilah terlebih dahulu. Zulhas optimistis, dengan dukungan penuh pemerintah, proyek besar ini bisa rampung dalam satu tahun.

“Pak Presiden percayakan saya, kasih Inpres, satu tahun selesai dibangun,” tegasnya.

Pemerintah Dinilai Lamban

Ilustrasi tempat pembuangan akhir (Meta AI)Ilustrasi tempat pembuangan akhir (Meta AI)

Meski ada rencana ambisius tersebut, masyarakat menilai pemerintah masih bergerak terlalu lambat. Di media sosial, warganet menyuarakan kekecewaan karena masalah sampah Bantar Gebang seolah dibiarkan menumpuk tanpa solusi nyata.

“Kenapa pemerintah seperti menutup mata. Tidak memberikan solusi bertahun-tahun,” kritik seorang pengguna.

Warganet lain menyoroti bahwa teknologi pengolahan sampah di luar negeri jauh lebih maju, mulai dari pengolahan organik menjadi pupuk, plastik menjadi bahan daur ulang, hingga logam yang dimanfaatkan kembali.

“Harusnya ada pabrik atau mesin penyortir sampah antara organik dan anorganik, sehingga bisa diolah lagi jadi bahan baku daur ulang,” tulis komentar lainnya.

Sejarah Panjang Bantar Gebang

Bantar Gebang bukanlah persoalan baru. Tempat pembuangan akhir ini mulai beroperasi sejak 1989, menggantikan TPA di Cililitan, Jakarta Timur, yang tak mampu lagi menampung sampah ibu kota.

Awalnya, Bantar Gebang direncanakan menjadi lokasi modern dengan konsep sanitary landfill, yakni penimbunan sampah dengan sistem lapisan tanah agar tidak menimbulkan pencemaran.

Namun, dalam praktiknya, pengelolaan kerap jauh dari ideal. Laju pertumbuhan penduduk Jakarta dan sekitarnya membuat volume sampah melonjak drastis.

Setiap hari, diperkirakan lebih dari 7.000 ton sampah dikirim ke Bantar Gebang. Akibatnya, lahan seluas lebih dari 100 hektare itu berubah menjadi gunungan sampah raksasa.

Berbagai proyek penanganan telah dicoba, mulai dari kerjasama dengan pihak asing, rencana pembangunan insinerator, hingga program bank sampah di masyarakat. Tetapi, hingga kini, Bantar Gebang masih menjadi simbol problematika tata kelola sampah di Indonesia.

Jalan Panjang Mencari Solusi

Gunungan sampah setinggi gedung 16 lantai ini menjadi pengingat bahwa persoalan sampah tidak bisa lagi ditunda. Selain mengancam lingkungan dan kesehatan warga sekitar, Bantar Gebang juga menunjukkan betapa kompleksnya tata kelola sampah perkotaan.

Jika rencana konversi sampah menjadi energi benar-benar diwujudkan, maka Bantar Gebang bisa berubah dari simbol masalah menjadi pusat solusi.

Namun, tanpa sistem penyortiran yang jelas dan komitmen jangka panjang, persoalan sampah hanya akan bergeser tanpa pernah benar-benar terselesaikan.

Timeline Sejarah Bantar Gebang

1986–1989

Pemerintah DKI Jakarta mencari lokasi baru untuk pembuangan sampah karena TPA Cililitan, Jakarta Timur, sudah penuh. Bantar Gebang, Bekasi, dipilih sebagai lokasi alternatif.

1989

TPA Bantar Gebang resmi dibuka dan mulai menerima sampah dari Jakarta. Konsep awalnya menggunakan sistem sanitary landfill (penimbunan dengan lapisan tanah).

1990-an

Volume sampah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk Jakarta. TPA Bantar Gebang menerima lebih dari 3.000 ton sampah per hari. Mulai muncul keluhan warga sekitar akibat bau menyengat, pencemaran air tanah, dan masalah kesehatan.

2000-an

Pemerintah DKI beberapa kali menggulirkan proyek modernisasi, termasuk rencana pembangunan insinerator (pembangkit listrik tenaga sampah). Namun, sebagian besar terhambat masalah pendanaan, perizinan, dan penolakan warga.

2010

DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi sering bersitegang karena Bantar Gebang dianggap membebani wilayah Bekasi. Pemerintah pusat mulai ikut campur untuk mencari solusi.

2015

Mulai diperkenalkan program bank sampah di tingkat masyarakat, dengan tujuan mengurangi beban Bantar Gebang. Namun, volume sampah yang masuk tetap tinggi.

2019

Pemerintah membangun fasilitas pengolahan sampah dengan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) di Bantar Gebang. Teknologi ini memungkinkan sampah diolah menjadi bahan bakar alternatif untuk industri semen.

2020–2022

Masalah kapasitas semakin mendesak. Bantar Gebang diperkirakan hanya memiliki umur pakai beberapa tahun lagi karena tumpukan sampah semakin menjulang.

2025

Kondisi Bantar Gebang kembali jadi perhatian publik setelah Menteri Zulkifli Hasan menyebut tumpukan sampahnya sudah setara gedung 16 lantai.

Pemerintah berencana mempercepat pembangunan fasilitas konversi sampah menjadi energi dengan menunggu Instruksi Presiden.

Tag bantar gebang bekasi tpa sampah