Uang Amplop di Hajatan: Rezeki Pengantin atau Orang Tua?

Tradisi memberikan amplop berisi uang dalam resepsi pernikahan telah menjadi kebiasaan yang lazim di tengah masyarakat Muslim Indonesia. Praktik ini biasanya dilakukan sebagai bentuk hadiah kepada mempelai baru atas pernikahan mereka. Namun, muncul persoalan fikih yang menarik untuk dikaji lebih dalam, yakni: siapakah pemilik sah dari uang amplop tersebut? Apakah menjadi milik mempelai atau orang tua mereka sebagai penyelenggara acara?
Dalam Islam, memberikan hadiah merupakan amalan yang dianjurkan (sunnah), sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
"Tahaadû, tahaabbû (Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai)." (HR. Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, no. 594)
Namun, persoalan mengenai siapa yang berhak memiliki hadiah, termasuk amplop dalam pernikahan, menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya antara mazhab Syafi’i dan mazhab Hanafi.
Mazhab Syafi’i: Kepemilikan Berdasarkan Niat Pemberi
Ilustrasi uang amplop (Pixabay)
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa niat pemberi hadiah menjadi penentu utama kepemilikan. Apabila pemberi hadiah menyebutkan secara jelas bahwa hadiah ditujukan kepada mempelai, maka hadiah tersebut menjadi milik mereka. Namun, jika tidak terdapat penjelasan eksplisit, maka hadiah menjadi milik siapa saja yang menerima secara langsung—bisa orang tua mempelai, mempelai itu sendiri, atau bahkan pihak panitia.
Imam Qalyubi dalam Hasyiyah Qalyubi menyatakan:
"Hakikatnya, uang atau hadiah yang diberikan dalam acara bahagia seperti pernikahan kembali kepada niat pemberinya; apakah ditujukan kepada pemilik hajatan, anaknya, tukang hias, atau pelayan tarekat. Jika tidak ada penentuan niat, maka kepemilikan jatuh kepada siapa saja yang mengambilnya." (Hasyiyah Qalyubi, juz III, hlm. 115)
Pendapat ini memberikan landasan kuat bahwa niat merupakan faktor sentral dalam menentukan kepemilikan hadiah pernikahan menurut mazhab Syafi’i.
Mazhab Hanafi: Kepemilikan Berdasarkan Relasi Sosial
Amplop kondangan (Pixabay)
Berbeda dengan pandangan Syafi’iyyah, mazhab Hanafi menggunakan pendekatan relasi sosial antara pemberi dan penerima dalam menentukan kepemilikan hadiah. Dalam konteks pernikahan, jika pemberi hadiah merupakan teman atau kerabat ayah mempelai, maka hadiah tersebut menjadi milik sang ayah. Jika berasal dari teman ibu, maka menjadi milik ibu. Adapun jika pemberi menyatakan bahwa hadiah tersebut untuk mempelai, maka kepemilikan jatuh pada mempelai.
Dalam ad-Durr al-Mukhtār, disebutkan:
"Apabila hadiah diberikan kepada seorang anak kecil, dan hadiah itu layak untuknya seperti pakaian anak-anak, maka menjadi miliknya. Jika tidak sesuai, maka jika pemberinya teman ayah, hadiah itu milik ayah. Jika pemberinya teman ibu, maka hadiah itu milik ibu, kecuali apabila pemberi secara jelas menyatakan hadiah itu untuk anak tersebut." (ad-Durr al-Mukhtār Syarh Tanwīr al-Abṣār, juz I, hlm. 117)
Pendekatan ini menekankan pentingnya qarinah (indikasi sosial) dalam penentuan status kepemilikan hadiah.
Kontekstualisasi di Indonesia: Relevansi Pendapat Mazhab Syafi’i
Mayoritas umat Islam Indonesia mengikuti mazhab Syafi’i dalam praktik ibadah dan muamalahnya. Oleh karena itu, mengikuti pendapat Syafi’iyyah dalam persoalan ini lebih sesuai, baik secara sosiologis maupun untuk menjaga konsistensi bermazhab.
Pendapat yang mendasarkan pada niat pemberi juga dianggap lebih aman secara hukum dan menghindari prasangka buruk atau konflik antara mempelai dan orang tua mereka. Karena itu, dalam tradisi resepsi pernikahan, sebaiknya ada kejelasan sejak awal mengenai tujuan dan penerima hadiah yang diberikan oleh tamu undangan.
Perbedaan pendapat antara mazhab Syafi’i dan Hanafi menunjukkan keluasan dan keluwesan dalam fikih Islam dalam menjawab persoalan sosial. Dalam konteks pemberian hadiah berupa amplop pada resepsi pernikahan:
-
Mazhab Syafi’i menetapkan bahwa niat pemberi adalah penentu utama.
-
Mazhab Hanafi menetapkan bahwa hubungan sosial antara pemberi dan penerima menjadi dasar utama, kecuali ada pernyataan eksplisit.
Dengan mempertimbangkan mayoritas masyarakat Indonesia yang bermadzhab Syafi’i, serta aspek kemaslahatan dan kejelasan hukum, maka pendapat Syafi’iyyah lebih layak untuk dijadikan acuan utama dalam menentukan kepemilikan amplop pernikahan. Wallāhu a‘lam.