Apa Penyebab Thailand-Kamboja Perang?
Bentrokan bersenjata kembali pecah antara Thailand dan Kamboja pada Senin (waktu setempat), menandai putaran kedua konflik mematikan di sepanjang perbatasan kedua negara pada tahun ini.
Pertempuran tersebut terjadi hanya beberapa bulan setelah perang perbatasan selama lima hari pada Juli lalu.
Baca Juga: Penyayi Thailand Malu Besar, Salah Lip Sync di Pembukaan SEA Games 33
Hingga hari kedua pertempuran, baku tembak artileri dan serangan udara masih terus berlangsung.
Sedikitnya 13 orang dilaporkan tewas, puluhan lainnya mengalami luka-luka, dan ratusan ribu warga terpaksa mengungsi demi menyelamatkan diri dari zona konflik.
Sengketa Perbatasan Jadi Akar Masalah
Baca Juga: Perang Kamboja–Vietnam: Konflik Berdarah yang Mengubah Asia Tenggara
Ilustrasi bendera Kamboja [FTNews]
Konflik Thailand–Kamboja berakar pada klaim wilayah yang saling tumpang tindih selama puluhan tahun di sepanjang perbatasan sepanjang sekitar 800 kilometer yang belum sepenuhnya ditandai.
Perselisihan ini semakin rumit dengan perebutan klaim atas kompleks candi kuno yang berada di wilayah perbatasan.
Pada Juli lalu, Amerika Serikat dan Malaysia, selaku Ketua ASEAN, sempat menengahi gencatan senjata yang menghentikan pertempuran.
Kesepakatan tersebut bahkan ditandatangani secara simbolis dalam KTT ASEAN di Kuala Lumpur pada akhir Oktober.
Gencatan Senjata Gagal, Ketegangan Kembali Memuncak
Namun, kesepakatan damai itu tak bertahan lama. Pada 10 November, Thailand secara resmi menangguhkan gencatan senjata setelah seorang tentaranya terluka parah akibat ledakan ranjau darat di wilayah perbatasan.
Bangkok menuding pasukan Kamboja memasang ranjau baru yang melanggar kesepakatan damai dan mengklaim memiliki bukti pendukung. Tuduhan tersebut langsung dibantah oleh Phnom Penh.
Sejak saat itu, ketegangan terus meningkat hingga akhirnya kembali pecah bentrokan besar, dengan kedua pihak saling menuduh menyerang wilayah sipil.
Faktor Politik dan Nasionalisme Perkeruh Situasi
Para analis menilai konflik kali ini berpotensi berlangsung lebih lama. Selain sengketa wilayah, manuver politik domestik dan sentimen nasionalisme di kedua negara disebut turut memperkeruh keadaan.
Kamboja dinilai enggan mundur karena kekhawatiran dianggap lemah di mata publik. Kemarahan masyarakat Kamboja terhadap kegagalan gencatan senjata sebelumnya disebut hampir merata dan sebagian besar menyalahkan Thailand.
Di sisi lain, Thailand juga tengah menghadapi tekanan politik dalam negeri. Perdana Menteri Anutin Charnvirakul memimpin pemerintahan minoritas dan bersiap menghadapi pemilu pada Maret mendatang.
Konflik perbatasan dikhawatirkan dimanfaatkan untuk membangkitkan sentimen persatuan nasional.
Diplomasi Masih Jadi Harapan Terakhir
Meski peluang diplomasi masih terbuka, para pengamat menilai kegagalan gencatan senjata sebelumnya disebabkan lemahnya tindak lanjut internasional.
Hal ini menjadi pelajaran penting bagi para mediator jika ingin membangun perdamaian yang lebih berkelanjutan.
Menteri Luar Negeri Thailand, Sihasak Phuangketkeow, menegaskan bahwa negaranya terbuka terhadap keterlibatan pihak luar, termasuk Amerika Serikat.
Namun, ia menekankan bahwa upaya tersebut harus menghasilkan perdamaian nyata, bukan sekadar kesepakatan di atas kertas.
“Yang kami butuhkan adalah perdamaian sejati, bukan hanya dokumen formal,” ujarnya.