Habis Ditantang, Puntung Garap Opera Ikan Asin

Forumterkininews.id, YOGYAKARTA  – Lusa, 15 Agustus 2023, sudah tercatat sebagai tanggal yang tak boleh terlewatkan. Hari itu, pukul 19.00 WIB di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Teater Alam mempersembahkan repertoar “Opera Ikan Asin” (OIA).

Bahkan, gemanya sudah sampai Ibu Kota. Tak sedikit pecinta teater Jakarta menyatakan akan berangkat ke Jogja, menyaksikan pertunjukan teater yang memainkan naskah N. Riantiarno hasil adaptasi dari lakon The Threepenny Opera, karya Bertolt Brecht.

Brecht pernah berkata, “Seni bukanlah cermin yang untuk merefleksikan realitas, melainkan sebuah palu untuk membentuknya.”

Menarik jika menguliik apa alasan sutradara Puntung CM Pudjadi memilih lakon itu untuk memperingati 51 tahun Teater Alam. “Awalnya karena ada yang ‘menantang’…,” cetus Puntung, yang nyantrik di Teater Alam asuhan mendiang Azwar AN sejak akhir 1974, diajak sohibnya, Yoyok Coa Ong (alm).

Lhadalah… siapa gerangan yang berani “menantang” Puntung?

Tokoh Mekhit alias Mat Piso (diperankan Meritz Hindra) saat dijebloskan ke penjara. (foto: Teater Alam)

Realis dan Booming

Ia pun mengisahkan peristiwa di sebuah seminar teater di Sonobudoyo Yogyakarta. Puntung tampil sebagai salah satu narasumber mewakili dan atas nama Teater Alam.

Saat sesi tanya-jawab ada peserta bertanya, “Mengapa selama ini Teater Alam selalu mementaskan lakon klasik seperti Oedipus, Promoteus, dan lain-lain. Jarang sekali memainkan lakon sekarang, realis tapi booming.”

Puntung menangkis, lakon-lakon seharari-hari, dan naskah-naskah komedi sudah sering dipentaskan TA. Ia menyebut contoh “Obrok Owok-owok, Ebrek Ewek-wek” (Danarto), “Dokter Gadungan” (Moliere, terjemahan Asrul Sani), “Pinangan” (Anton P. Chekov), dan masih banyak lagi.

Si penanya ‘nguber’, “Tapi kenapa tidak menggarap naskah yang sekarang booming seperti karya Arifin C. Noer, N. Riantorno, dan lain-lain?”

Puntung yang juga aktif di Dewan Teater Yogyakarta (DTY) pun berkilah, “Bersama DTY saya beberapa kali menggarap karya Arifin C. Noer seperti ‘Tengul’, dan ‘Opera Kecoa” karya Riantoarno, serta beberapa naskah lain.”

Si penanya belum menyerah. Ia mendesak, “Yang saya tanya, kenapa Teater Alam tidak?”

Puntung pun menjawab, “Sekali waktu, Teater Alam akan garap naskah karya Arifin C Noer atau Nano Riantiarno.” Setelah jawaban itu, si penanya puas dan tidak mengejar Puntung lagi.

Terjawab sudah. Jadi pemilihan naskah Opera Ikan Asin lebih karena “tantangan”? “Ya, kurang lebih begitulah,” jawab Puntung.

Sutradara Puntung CM Pudjadi (kanan) di depan sejumlah pendukung repertoar Opera Ikan Asin. (foto: Teater Alam)

Sajian yang Berbeda

Antara Arifin C Noer dan Riantiarno, Puntung kembali menimbang. Jika pilihannya jatuh pada naskah Arifin C Noer, butuh banyak pemain yang memiliki bekal akting cukup. “Itu akan sangat sulit, karena banyak teman Teater Alam sudah pindah kemana-mana,” kata Puntung

BACA JUGA:   Momen Lucu Tiko Aryawardhana Kejepit Pintu Gegara Hindari Awak Media

Sementara, jika memilih naskah Riantiarno, relatif tidak butuh terlalu banyak pemain berkualifikasi “mahir akting”. Apalagi jika yang memilih naskah jenis opera.

Ia bersama Ronny AN, Sekretaris Perkumpulan Teater Alam yang juga putra sulung mendiang Azwar AN itu pun memutuskan naskah Opera Ikan Asin. Kolosal, komedi, booming, melibatkan penyanyi, pemusik, penari, dan berjenis opera. Sebuah sajian yang berbeda dengan karya-karya Teater Alam sebelumnya.

Sebagai naskah komedi tetapi terbilang tua, Puntung menyikapinya secara proporsional. “Yang jelas, klasik atau modern esensinya harus bisa menjadi tontonan yang enak. Menonton dapat mengikuti ceritanya. Dalam menyutradarai saya selalu sadar tentang bagaiman membuat tontonan yang bagi semua kelas,” tuturnya.

Ia lalu mengutip prinsip Bertolt Brech. Bahwa sebagai sutradara, Brecht menyukai penonton yang tidak terikat atau terasingkan dari pertunjukan itu sendiri. Tujuannya agar menjaga emosi sehingga memungkinkan mereka melihat pertunjukan apa adanya. “Ada yang menyebutnya sebagai ‘V-Effect’, atau ‘Verfremdungseffekt’, sebuah perkembangan baru dalam sejarah teater,” kata Puntung.

Pentas yang menyajikan aneka genre musik dan tari. (foto: Teater Alam)

Pesan Moral

Alfian Syahmadan Siagian dalam “jurnalcikini.ikj.ac.id” menyebut konsep itu sebagai konsep “Brechtian”. Sebuah konsep yang menggagas bahwa seluruh apparatus pertunjukan, termasuk penonton wajib untuk berjarak. Konsep inilah yang terkenal sebagai verfremdungseffekt.

Makna verfremdungseffekt adalah keterasingan, keberjarakan, atau alienasi. Seluruh apparatus pertunjukan harapannya “tidak terlibat” secara emosional dengan apa yang terjadi di atas panggung. Penonton-penonton yang kritis akan merenungkan hasil tontonan mereka untuk kemudian menggagas sebuah perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Benar. Naskah Opera Ikan Asin memang sarat pesan moral. Tentang keadilan dan ketidakadilan. Mengenai ketimpangan sosial. Hal-ihwal dunia durjana yang berkelindan dengan praktik penegakan hukum yang semena-mena, dibumbui bisnis lendir dunia prostitusi berpacu dengan kemiskinan.

“Ini tontonan yang menarik. Dan yang pasti, pertunjukan Opera Ikan Asin akan jadi pembeda dengan pertunjukan-pertunjukan sebelumnya. Di sisi lain, inilah jawaban saya atas tantangan peminat teater yang menghendaki Teater Alam mementaskan naskah-naskah kekinian yang booming,” papar Puntung. (rr)

Artikel Terkait