Desa Tanjung Labu, Pulau Bangka Terdampak Eksploitasi Tambang Timah

FTNews – Tambang rupanya tak hanya memberi dampak terkereknya ekonomi di suatu daerah. Ekplorasi yang berujung eksploitasi hanya akan menimbulkan kerusakan lingkungan dan penderitaan rakyat karena tambang tersebut.

Salah satu perusahaan ternama pun di bidang penambangan timah kerap menjadi perbincangan mengenai kerusakan lahan yang terjadi pada Pulau Bangka di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Pasalnya, kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan mencapai Rp271 triliun pada kawasan hutan dan nonkawasan hutan.

“Kalau semua digabungkan, kawasan hutan dan nonkawasan hutan, total kerugian akibat kerusakan yang harus ditanggung negara adalah Rp271.069.688.018.700,” jelas Hero di Gedung Kejaksaan Agung pada 19 Februari 2024.

Akan tetapi, tidak hanya lingkungan yang terdampak dari kerusakan ini. Namun, masyarakat sekitar pun ikut merasakan dampak-dampak dari kerusakan-kerusakan akibat tambang timah.

Tidak hanya PT. Timah saja, namun begitu juga dengan perusahaan-perusahaan tambang yang berada di Provinsi Babel.

Provinsi Babel telah mengeluarkan Peraturan Daerah (perda) Pertambangan Nomor 8 Tahun 2003 yang mengatur penambangan agar tidak merusak lingkungan.

Perda menjelaskan bahwa setiap penambangan harus memiliki izin dari kepala desa atau dinas pertambangan setempat serta membayar kontribusi bagi pemerintah daerah.

Setelah menambang, pengusaha diharuskan bertanggung jawab mereklamasi tanah bekas galian. Namun, perda tersebut masih sulit direalisasikan.

Berdasarkan sebuah penelitian dari jurnal Social Science Studies pada tahun 2023, kerusakan lingkungan ini juga berdampak pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Terutama, dengan para petani sawah di Desa Tanjung Labu, Pulau Bangka.

Implikasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada Masyarakat

Ilustrasi tambang timah di Pulau Bangka. Foto: Babel Pos

Konflik ini terjadi karena masyarakat petani sawah menganggap perusahaan tambang timah hanya memikirkan keuntungan mereka dan tidak memikirkan dampak pada masyarakatnya.

Memang, sudah ada IUP dari untuk melakukan aktivitas pertambang di Desa Tanjung Labu. Wilayah IUP seluas 300 hektare dan sudah 20 hektare menjadi lahan tambang.

Tetapi, perusahaan tambang tersebut tidak mengindahkan aktivitas masyarakat lokal yang kehidupan sehari-harinya dari lingkungan desa tersebut.

BACA JUGA:   Krisis Budaya Literasi, Kemendikbudristek Bagikan Buku Gratis ke Pemudik

Masyarakat desa mengatakan mereka tidak mengetahui keberadaan perusahaan tambang di desa mereka bertujuan untuk melakukan aktivitas tambang.

Sebenarnya, perusahaan tersebut sudah menyediakan IUP bagi masyarakat yang terdampak oleh IUP.

Mereka menyediakan alat-alat seperti PC, minyak, pipa-pipa besar untuk masyarakat dengan syarat masyarakat Desa Tanjung Labu bekerja sebagai penambangnya dengan sistem fee.

Akan tetapi, masyarakat masih tidak rela dengan hilangnya wilayah pertanian mereka yang perusahaan ini sulap menjadi tambang timah.

Selain itu, masyarakat juga tidak merasa puas dengan fee yang diberikan. Sebelumnya, masyarakat Desa Tanjung Labu dan perusahaan melakukan perjanjian atas pembagian hasil penambangan.

Namun, masyarakat merasa kecewa karena perusahaan tersebut tidak membayar mereka sesuai dengan perjanjian yang telah mereka sepakati.

Awalnya, masyarakat menerima fee yang telah mereka sepakati secara rutin. Lambat laun, fee tersebut masyarakat rasa tidak sesuai untuk menutupi kerugian yang telah mereka alami.

Akhirnya, masyarakat setempat harus mencari pekerjaan yang lain untuk menghidupkan hidup mereka.

Munculnya Berbagai Macam Konflik

Ilustrasi perpecahan kelompok masyarakat. Foto: canva

Pertama, masyarakat harus berganti mata pencariannya karena mereka kehilangan lahan pertaniannya. Dari yang awalnya menggarap pertanian, kini mereka harus mencari peruntungan di laut.

Selain itu, juga terjadi perpecahan antara masyarakat petani dengan masyarakat penambang. Perselisihan ini terjadi akibat pandangan dan persepsi masyarakat yang buruk kepada perusahaan tambang tersebut.

Perpecahan ini bermula dari perbedaan pandangan, ide, pemikiran individu hingga kelompok. Bentuk perpecahan ini dimulai dengan adanya penolakan dari masyarakat petani terhadap pihak perusahaan tambang.

Hal ini bermula karena tidak adanya sosialisasi dari perusahaan tambang kepada masyarakat petani Desa Tanjung Labu. Mereka menganggap perusahaan tersebut hanya mendatangkan masyarakat yang setuju dengan pembangunan tambang tersebut.

Selain itu, mereka juga merasa marah akibat dari pengambilalihan kebun dan sawah untuk menjadi lahan tambang.

Artikel Terkait