Layanan KRIS Bakal Tak Pandang Kaya-Miskin

FTNews – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan pergantian kelas BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) untuk memastikan pelayanan kesehatan setara tanpa memandang status ekonomi.

“BPJS sebagai asuransi sosial itu harus menanggung seluruh 280 juta rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Jadi dengan layanan minimalnya berapa,” kata Menkes dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (17/5).

Sehingga lanjutnya, jika ada yang mendadak sakit, siapapun dia, kaya atau miskin. Di kepulauan atau di mana bisa terlayani.

Budi menjelaskan, KRIS bertujuan meningkatkan standar minimum layanan. Salah satunya pengurangan jumlah pasien per kamar menjadi empat orang. Penambahan kamar mandi di dalam ruangan.

Nantinya penerapan KRIS secara bertahap. Uji coba akan pemerintah lakukan satu tahun d berbagai rumah sakit.

Mengacu pada Perpres No 59 Tahun 2024, KRIS dilaksanakan paling lambat 30 Juni 2025 di seluruh rumah sakit di Indonesia.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, 2.000 rumah sakit sudah siap untuk menerapkan KRIS.

Pasien mendapat perawatan di rumah sakit. Foto: Siloam Hospital

Prinsip Gotong Royong

Praktisi Kesehatan Masyarakat dokter Ngabila Salama menyebut dalam BPJS Kesehatan ada sejumlah prinsip gotong royong.

“Orang sehat mensubsidi biaya orang yang sakit. Nanti single iuran pun (besaran iuran sama) ini juga menunjukkan kegotongroyongan,” kata Ngabila.

KRIS juga ada komitmen peningkatan mutu layanan kesehatan demi terwujudnya universal health coverage (UHC) 100 persen di Indonesia.

Namun memang ada beberapa hal yang perlu perhitungan matang. Di antaranya besaran tarif Indonesian Case Base Groups (Inacbgs) untuk klaim KRIS bagi rumah sakit.

Lalu penentuan single iuran jika memang berlaku baik peserta bantuan iuran (PBI) dan non-PBI.

Selanjutnya penentuan ulang besaran iuran dengan grading/statifikasi yang menyesuaikan sesudah KRIS berlaku.

BACA JUGA:   R21/Matrix-M, Vaksin Rekomendasi WHO untuk Malaria

“Perlu juga membuat ketentuan atau syarat masyarakat yang bisa masuk dalam kriteria PBI (baik PBI APBN/APBD) jika nantinya ada perubahan besaran tarif,” ungkap Ngabila.

Artikel Terkait