Marak Gerakan Golput di Pilkada, Bagaimana Pandangan Hukumnya?

FT News – Gerakan untuk tidak memilih atau memilih seluruh pasangan calon di kertas suara atau yang dikenal dengan golput semakin marak dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.

Contohnya, dalam Pilkada Jakarta muncul gerakan ‘Anak Abah tusuk tiga pasangan calon’. Diketahui ‘Anak Abah’ adalah sebutan bagi pendukung mantan Gubernur DKI Anies Baswedan. Sebutan itu semakin ramai dipakai di media sosial saat penyelenggaraan Pilpres 2024 lalu.

Selain itu juga ada gerakan memilih kotak kosong di Pilkada Kota Surabaya 2024. Pasalnya, Pemilihan Wali Kota Surabaya hanya diikuti oleh satu pasangan calon yaitu Eri Cahyadi-Armuji.

Puluhan warga Surabaya yang menamakan dirinya Aliansi Relawan Surabaya Maju mendeklarasikan dukungan terhadap kotak kosong. Aksi yang digelar di depan Gedung DPRD Surabaya ini menarik perhatian banyak pihak.

Demo JRMK ke kantor KPU Jakarta. (Foto: Ist)

Koordinator aksi di Surabaya, Harijono mengungkapkan bahwa deklarasi mendukung kotak kosong bertujuan untuk menyampaikan pesan bahwa masyarakat Surabaya menginginkan perubahan nyata dalam pemerintahan.

“Kami memilih kotak kosong sebagai bentuk penolakan terhadap calon tunggal yang diusung partai politik yang tidak peka terhadap aspirasi rakyat,” tuturnya.

Menanggapi hal ini, calon Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi menganggap hal itu wajar. Menurutnya, kehadiran kotak kosong merupakan bentuk kesadaran akan kekurangan dan kelebihan dalam proses demokrasi itu sendiri.

Sementara itu,  Juru Bicara Anies Baswedan, Sahrin Hamid menganggap gerakan golput adalah ungkapan kekecewaan dari pendukung Anies Baswedan yang tidak bisa berlaga di Pilkada Jakarta.

“Bisa jadi itu adalah ungkapan kekecewaan pendukung Pak Anies, karena yang mereka dukung tidak ada di dalam kertas suara,” ucap Sahrin Hamid.

Setelah munculnya gerakan ‘Anak Abah tusuk tiga pasangan calon’, Ketua KPU DKI Jakarta, Wahyu Dinata mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilih.

BACA JUGA:   HUT ke-13 Kota Tangsel Angka Kemiskinan dan Pengangguran Naik
Pakar Hukum Kepemiluan, Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini. (Foto: Ist)

Mantan Gubernur DKI Anies Baswedan menilai gerakan tusuk tiga pasangan calon patut dihargai sebagai sebuah wujud kebebasan berpendapat dari masyarakat.

“Kita hormati itu, kita hargai sebagai bagian dari kebebasan berekspresi,” ucap Anies.

Berdasarkan Pasal 515 Undang-Undang (UU) Pemilu, seseorang yang mengajak orang lain untuk golput bisa dipidana apabila memberikan imbalan berupa uang atau materi. Hukumannya bisa mencapai tiga tahun penjara dan denda sebesar Rp36 juta.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan bahwa memilih untuk golput tanpa memberikan imbalan materi bukanlah tindakan yang melanggar hukum.

Sementara itu, Pakar Hukum Kepemiluan, Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini melalui akun X nya, menjelaskan aspek Hukum Gerakan Golput: Abstain atau Coblos Semua Calon.

“Gerakan golput, baik yang mengajak abstain atau mencoblos semua calon adalah ekspresi politik yang tidak boleh dikriminalisasi,” ungkapnya.

Menurutnya, memilih atau tidak memilih adalah kehendak bebas dari setiap warga negara sepanjang dilandasi oleh kesadaran dan pemahaman yang otentik atas setiap konsekuensinya.

Menurutnya, gerakan golput menjadi tantangan partai politik, paslon dan penyelenggara pemilu untuk direspon secara substantif melalui diskursus gagasan dan program yang kritis.

Selain itu juga memastikan hadirnya pemilihan yang bukan hanya periodik tapi juga murni dan diselenggarakan berdasarkan asas prinsip pemilu yang bebas dan adil.

“Pemidanaan gerakan golput hanya bisa dilakukan apabila gerakan tersebut disertai politik uang atau dengan menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih,” tandasnya.

 

Artikel Terkait