Catatan Akmal Nasery Basral: Isra Mi’raj, Simbol Perjalanan Penting Seorang Pemimpin

SABTU, 18 Februari 2023 (27 Rajab 1444 H), umat Islam di seluruh dunia merayakan dan mengambil hikmah dari Isra’ Mi’raj, dua perjalanan spiritual nan monumental yang dialami Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam dalam satu malam.

Isra’ adalah perjalanan dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsa, Darussalam (Yerusalem). Kedua bangunan suci tersebut berjarak sekitar 1.480 km. Namun Nabi Muhammad s.a.w menjalaninya dalam sekejap karena menunggangi makhluk bernama buraq yang digambarkan “hewan berwarna putih, bertubuh panjang, lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari baghal.” (HR Imam Muslim). Baghal adalah hasil persilangan kuda betina dan keledai jantan.

Adapun Mi’raj adalah peristiwa ketika Nabi s.a.w. setelah berada di Masjidil Aqsa dinaikkan Allah ke Sidratul Muntaha, langit ketujuh, untuk menerima perintah salat wajib lima waktu. Rangkaian dua peristiwa yang terjadi pada tahap akhir kenabian di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah itu juga merupakan salah satu mukjizat Rasulullah Muhammad s.a.w.

Profesor John Renerd, Guru Besar Teologi Agama Saint Louise University, dalam bukunya In The Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience sebagai bagian dari tiga perjalanan terpenting yang dialami Nabi Muhammad s.a.w. selain hijrah dari Mekkah ke Madinah dan Haji Wada’, haji perpisahan pada 10 Zulhijjah tahun 10 Hijriyah sekaligus momen turunnya wahyu Surat Al Maidah ayat 3: “Hari ini Aku sempurnakan agamamu bagimu dan Aku cukupkan karunia-Ku untukmu dan Aku pilihkan Islam menjadi agamamu.”

Kesemarakan Isra’ Mi’raj terlihat pada ramainya majelis kajian, tabligh akbar, mutiara hikmah, yang berlangsung di seluruh dunia Islam. Dari masjid jami’ dengan pualam kelas satu sampai musala sederhana bilik kayu. Dari ulasan para ustaz, mubaligh, masyayikh, habaib terkemuka sampai da’i biasa. Semua berlomba-lomba menggali inspirasi dan energi motivasi Isra’ Mi’raj.

Dalam tradisi masyarakat Islam di tanah air, perayaan Isra’ Mi’raj mendapat sentuhan identitas kultural seperti Rejeban Peksi Buraq (Yogyakarta), Ngurisan (Lombok), Rajaban (Cirebon), Nganggung (Bangka), Me’eraji (Gorontalo).

Tulisan ini tidak melihat Isra’ Mi’raj dari bingkai cara pandang sejarah agama Islam secara khusus atau dari perspektif budaya lokal masyarakat di tanah air, melainkan dari paradigma sosiologi untuk melihat relevansinya bagi bangsa Indonesia secara umum dan umat Islam Indonesia secara khusus.

Perjalanan Horisontal Sang Pemimpin

Sebagai sebuah perjalanan spiritual menuju sosok manusia paripurna (insan kamil) seperti dialami Nabi, maka Isra’ Mi’raj sejatinya menyimbolkan sebuah perjalanan penting yang harus dilakoni seorang pemimpin.

Baik dalam tataran komunitas terkecil sebagai Ketua RT, atau yang lebih tinggi lagi mulai Ketua RW, Lurah, Kepala Desa, Camat, Bupati/Wali Kota, Gubernur, sampai Presiden sebagai pemimpin negara. Semakin besar dan tinggi jabatan, semakin urgen sebuah “perjalanan spiritual” harus dijalani seorang pemimpin, baik secara horisontal (“Isra’”) atau vertikal (“Mi’raj”).

Perjalanan horisontal mesti dijalani pemimpin dengan melihat model-model kepemimpinan di sekelilingnya. RT sebelah, kelurahan lain, kota berbeda, negara tetangga. Fokusnya bukan hanya untuk melihat kemajuan di tempat lain dan menerapkan di kampung halaman sendiri, atau mengutamakan pembangunan fisik dan infrastruktur (jalan, jembatan, pasar, dan seterusnya) melainkan juga untuk merapikan sistem pemerintahan dari lingkup terendah sampai tertinggi dan memperbaiki gaya kepemimpinan personal (leadership) dengan yang lebih transparan, sesuai dengan asas GCG (Good Corporate Governance).

Empat sifat Nabi Muhammad s.a.w. yaitu shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), fathonah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan) adalah tulang punggung bagi terciptanya GCG. Sebab jika seorang Ketua RT tidak jujur, seorang lurah tidak amanah, seorang wali kota tidak cerdas, atau seorang gubernur atau presiden tidak tabligh, maka sulit membayangkan masyarakat yang mereka pimpin akan maju dan bisa menjadi agen perubahan sosial yang signifikan di era disrupsi yang penuh perubahan ini.

BACA JUGA:   Manajer Ungkap Kondisi Ruri Repvblik Pasca Kecelakaan Moge di Ciamis

Jika dalam peristiwa Isra’ historis Nabi Muhammad s.aw. mengendarai buraq yang fenomenal, maka para pemimpin masyarakat saat ini pun sepatutnya mampu “mengendarai buraq” yang sesuai dengan elan zaman. Dan “buraq” itu bukanlah kendaraan dalam arti fisik seperti mobil operasional atau pesawat kepresidenan, melainkan kemampuan memahami dan mengoptimalkan teknologi digital bagi kemaslahatan masyarakat.

Para pemimpin dari tingkat Ketua RT sampai presiden, harus bisa membaca algoritma, membaca tren, menafsir spirit kemajuan. Jangan sampai, misalnya, model kepemimpinan yang terbukti tidak efektif dan tak menyebabkan masyarakat maju di era Orde Lama dan Orde Baru yang sama-sama otoriter, masih juga diterapkan di tengah masyarakat yang semakin egaliter.

Peristiwa Isra’ merupakan telaga inspirasi yang harus dipelajari para pemimpin dari sisi manajemen kepemimpinan yang diterapkan Nabi dalam mengelola umat sehari-hari sehingga para pengikutnya (sekarang: “follower”) terus bertambah banyak dari hari ke hari, bukan dengan menerapkan siasat dan muslihat kotor yang menarik minat sesaat, melainkan harus melalui gaya kepemimpinan yang sehat, jujur, dan menjadi teladan kebenaran.

Perjalanan Vertikal Sang Pemimpin

Yang melengkapi Isra’ sebagai sebuah perjalanan horisontal adalah Mi’raj sebagai perjalanan vertikal yang mendekatkan Nabi Muhammad s.a.w. kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Tuhan Penguasa Alam Semesta.

Dalam konsep keimanan Islam, Muhammad s.a.w. adalah nabi terakhir, nabi penutup, dari rangkaian para nabi dan rasul yang sudah menyebarkan risalah ilahiah sebelumnya dari Nabi Adam sampai Nabi Isa a.s. Maka tak akan ada lagi nabi pelanjut yang diutus Allah ke muka bumi.

Akan tetapi sisi kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w. masih diwariskan dan diteruskan oleh para khulafa rasyidun dan para umara (pejabat pemerintahan) setelahnya. Mereka inilah yang selayaknya menyerap hikmah lebih dalam dari peristiwa Mi’raj, yakni bahwa sebagai pemimpin tak cukup hanya dengan mengandalkan keluasan perjalanan horisontal, lebarnya jejaring dan networking, melainkan juga harus menjadi perjalanan vertikal yang lebih sublim.

Maka dalam konteks ini, seorang pemimpin masyarakat mesti terus berikhtiar meningkatkan kedekatannya kepada Allah. Seorang pemimpin—dari Ketua RT sampai presiden–jika dia muslim harus lebih intensif meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah. Dari puasa sunnah di siang hari, sampai salat tahajud di malam hari.

Seorang pemimpin harus mengurangi waktu istirahat, waktu tidur, waktu pelesir dan berleha-leha, bukan hanya untuk memikirkan aspek pembangunan fisik dari warga atau masyarakat yang dipimpinnya, melainkan untuk memperbanyak waktu bagi dirinya “berkonsultasi” dengan Allah, memohon bimbingan-Nya agar menjadi pemimpin yang adil bagi semua kalangan yang dipimpinnya. Tidak berat sebelah. Berani mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Dan yang terpenting, menjadikan dirinya sendiri sebagai contoh dari sosok yang sudah “bermi’raj” secara total.

Tentu saja implementasi Isra’ Mi’raj secara sosiologis ini juga berlaku pada level kita semua sebagai individual, rakyat biasa. Akan tetapi, jika para pemimpin yang mencontohkan lebih dulu, lebih sungguh-sungguh, maka pengaruhnya akan lebih besar lagi bagi bangsa Indonesia yang masih mengalami banyak keterpurukan di pelbagai bidang.

Selamat merayakan Isra’ Mi’raj.

*Penulis adalah sosiolog dan penulis 25 buku.

Artikel Terkait