Benarkah Gen Z Banyak yang Mengalami Bahaya Kesehatan Mental?

FT News – World Health Organization (WHO) atau organisasi kesehatan dunia melaporkan bahwa pandemi secara signifikan terbukti memperburuk kondisi kesehatan mental, khususnya di kalangan remaja.

Hasil survei dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat atau Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) pada Januari sampai Juni 2021 menunjukkan sebanyak 44 persen remaja mengaku sedih atau putus asa hampir setiap harinya.

Bahkan, hampir 20 persen dari para remaja ini secara serius mempertimbangkan untuk melakukan aksi bunuh diri dalam 12 bulan sebelum dilakukannya survei. Hal ini tidak hanya berlaku pada remaja di Amerika Serikat atau negara maju lainnya.

Gangguan kesehatan mental juga umum terjadi pada remaja tanpa memandang jenis kelamin. (Foto: Ist)

Bahkan, Indonesia juga diprediksi mengalami masalah yang sama. Walaupun data spesifik mengenai kondisi para remaja ini masih belum ada. Namun, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, sebanyak 16 juta atau sekitar 6,1 persen penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental.

Sementara itu, Survei Indonesia-National Adolescent pada tahun 2022 menuliskan bahwa satu dari 20 remaja di Indonesia mengalami gangguan mental. Dari populasi penduduk Indonesia yang mencapai 275,5 juta, maka sekitar 13.775.000 orang mengalami gangguan mental atau sebesar 5 persen dari total penduduk Indonesia.

Masalah kesehatan mental yang paling umum terjadi di kalangan remaja adalah gangguan kecemasan. Hal ini terjadi tanpa memandang jenis kelamin atau usia.  

Perlu dipahami, secara umum kesehatan mental adalah komponen vital dari kesejahteraan individu dan masyarakat. Hal ini dapat mempengaruhi pengambilan keputusan, membangun hubungan dan membentuk dunia tempat kita hidup.

Gangguan kesehatan mental bisa terjadi pada siapa saja tanpa memandang jenis kelamin dan usia. (Foto: ist)

Kesehatan mental juga merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang sangat mendasar dan penting bagi perkembangan pribadi, komunitas dan sosial ekonomi. Kesehatan mental berada pada spektrum yang kompleks dialami secara berbeda oleh setiap individu dengan berbagai tingkat kesulitan, penderitaan serta hasil sosial dan klinis yang bervariasi.

Kondisi kesehatan mental di antaranya adalah gangguan mental, disabilitas psikososial seta kondisi mental lain yang berkaitan dengan gangguan fungsi atau risiko melukai diri sendiri.  

BACA JUGA:   Bocoran! Song Hye Kyo dan Han So Hee Bakal Duet Akting di Drama Baru

Dikutip dari situs Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Sabtu (7/9), dinyatakan bahwa selama hidup manusia, faktor individu sosial dan struktural dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang.

Faktor psikologis dan biologis seperti kehilangan orang tua, perasaan rendah diri, penyalahgunaan NAPZA (Narkotika dan Zat Adiktif) serta kerusakan otak akan membuat seseorang lebih rentan mengalami gangguan mental.

Pola mendidik anak bisa menjadi salah satu faktor terjadinya gangguan mental pada anak. (Foto: Ist)

Ditambah lagi paparan kondisi sosial, ekonomi, geopolitik dan lingkungan yang tidak menguntungkan misalnya kemiskinan, kekerasan dan tekanan lingkungan dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental.

Risiko ini dapat muncul dalam setiap tahapan kehidupan. Namun, jika terjadi selama perkembangan yang sensitif misalnya di masa kanak-kanak, maka risikonya akan sangat merugikan.

Contohnya, pola asuh yang keras dan hukuman fisik telah terbukti merusak kesehatan anak. Salah satu faktor lainnya yang mempengaruhi kesehatan mental adalah perilaku bullying.

WHO menyebutkan bahwa faktor pelindung yang muncul sepanjang hidup manusia berperan penting dalam memperkuat ketahanan diri seseorang. Beberapa faktor tersebut meliputi keterampilan dan atribut sosial serta emosional, interaksi sosial yang positif, pendidikan berkualitas, pekerjaan dan lingkungan yang aman, serta kohesi sosial.

Oleh karena itu, dalam rangka memperkuat kesehatan mental, WHO menganjurkan agar kebutuhan individu dengan gangguan kesehatan mental dipenuhi secara optimal. Pendekatan yang harus dilakukan melalui perawatan kesehatan mental berbasis komunitas. Hal ini lebih mudah diakses dan diterima masyarakat dibandingkan perawatan institusional.

Pendekatan berbasis komunitas juga membantu mencegah pelanggaran HAM dan memberikan hasil pemulihan yang lebih baik bagi mereka yang mengalami kondisi kesehatan mental.

Perawatan kesehatan mental berbasis komunitas harus disediakan melalui jaringan layanan yang saling terkait. Tujuannya adalah melakukan diversifikasi dan meningkatkan perawatan untuk kondisi kesehatan mental, seperti melalui konseling psikologis non-spesialis atau bantuan dari dunia digital.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia dinilai perlu merumuskan solusi untuk memastikan nasib masyarakat, khususnya remaja agar terhindar dari persoalan serupa di beberapa waktu mendatang.

Artikel Terkait

Nasib Hubungan Dinar Candy Usai Ko Apex Tersangkut Kasus, Putus?

Nasib hubungan Dinar Candy dan Ko Apex dipertanyakan usai...

Sampai Jual Aset, Dinar Candy Terancam Kehilangan Rp 7 Miliar

Dinar Candy terancam kehilangan Rp 7 miliar. Uang tersebut...

Fiersa Besari Rehat Manggung: Nggak Tau Sampai Kapan

Fiersa Besari memutuskan vakum dari dunia musik. Keputusan ini...