IDI Investigasi Viralnya Video Pemberhentian Dokter Terawan

Forunterkininews.id, Jakarta- Ikatan Dokter Indonesia (IDI) segera menginvestigasi beredarnya video rekomendasi pemberhentian mantan Menteri Kesehatan dokter Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI.

Rekomendasi pemberhentian Terawan dibacakan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) saat acara sidang khusus Muktamar IDI Ke-31 yang digelar di Aceh pada 25 Maret 2022 lalu. Ketua Umum IDI Periode 2022-2025 dr Adib Khumaidi sangat menyesalkan kejadian tereebut.

Menurut dia, pemberhentian Terawan menimbulkan kegaduhan dan semestinya proses tersebut tidak menjadi konsumsi publik. Pembacaan putusan MKEK tersebut seharusnya merupakan agenda internal dan tidak untuk disebarluaskan di media sosial, apalagi sampai viral.

“Ranah etik ini adalah personal dan kami sangat sayangkan viralnya video tersebut. Karena memang kami tidak menghendaki hal itu. Mungkin nanti secara internal kami akan lakukan proses investigasi tentang hal ini,” kata Adib di Gedung DPR, Jakarta Senin (4/4) malam

Video rekomendasi Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) mengenai pemecatan Terawan dari IDI beredar di media sosial pada Jumat (24/3). Salah satunya diunggah akun Twitter dan Instagram epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono @drpriono1 dan pandu.riono.

Sebelumnya Staf Khusus Menkes era Terawan Agus Putranto, Brigjen TNI (purn) dr Jajang Edy Prayitno, meminta polisi mengusut segera beredarnya video pembacaan rekomendasi pemberhentian dokter Terawan sebagai anggota IDI yang beredar di media sosial.

Tolak Ukur Pelebaran Pembuluh Darah

Sementara itu Prof Rianto Setiabudi dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI mengungkapan tidak ada penjelasan apakah pasien mengalami perubahan signifikan seperti misalnya dari semula tak bisa jalan, bisa kembali menjalani aktivitas normal.

Hal ini juga menjadi kelemahan disertasi Terawan karena hanya menggunakan tolak ukur pelebaran pembuluh darah.

BACA JUGA:   Inovatif, Guru Besar Unair Temukan Senyawa Tanaman untuk Obat Anti Kanker

“Seharusnya satu uji klinik yang baik tolak ukurnya tidak boleh itu, tetapi perbaikan yang betul-betul dirasakan manfaatnya oleh pasien, misalnya tadinya dia nggak bisa ngurus diri, sekarang bisa ngurus diri, tadinya nggak bisa jalan sekarang bisa jalan, itu adalah tolak ukur yang benar,” lanjutnya.

Penentuan besar sampel dalam penelitian yang berjumlah 75 orang juga tidak didasari dengan alasan ilmiah yang jelas. Prof Rianto menegaskan hal yang juga fatal dan sulit diterima nalar para sejawat yakni penggunaan alat diagnostik menjadi terapeutik atau penanganan.

“Kalau boleh saya analogikan kalau ada seseorang yang batuk darah pergi ke dokter, dokternya mengatakan kamu rontgen dulu, setelah dirontgen dia bilang, ya, itu nggak ada pengobatan lain, prosedur diagnostik itulah yang menjadi pengobatannya, jadi beralih fungsi yang sama sekali susah diterima oleh nalar kita,” pungkas dia.

 

Artikel Terkait