Indonesia Lega, Trump Tunda Pemberlakuan Tarif Selama 90 Hari
Nasional

Setelah dunia gonjang-ganjing akibat pemberlakuan tarif impor baru Amerika Serikat, Presiden Donald Trump pun memutuskan menunda pemberlakuan tarif baru selama 90 hari, kecuali China.
Keputusan Trump ini merupakan kabar baik bagi hampir 60 negara, termasuk Indonesia, yang mendapat hantaman tarif tinggi itu. Setidaknya, dalam 90 hari negara-negara bisa mempersiapkan diri lebih baik.
Para pelaku ekonomi Indonesia menyambut positif kebijakan Trump ini. Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menyebut langkah itu sebagai “nafas lega” yang harus dimanfaatkan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam peta perdagangan global.
Baca Juga: Perang Tarif Makin Panas, Saham Global Jatuh! AS Naikkan Tarif Jadi 145, China Balas 125 untuk AS
“Ini momentum penting untuk konsolidasi kebijakan dagang, khususnya dengan Amerika Serikat,” ujar Fakhrul, dalam keterangan tertulis yang diterima InfoPublik, Kamis (10/4/2025).
Menurutnya, perang dagang membuka peluang re-shoring dari negara-negara seperti Vietnam, Bangladesh, Tiongkok, dan Thailand—yang diperkirakan akan lebih terdampak daripada Indonesia. Peluang ini bisa dimaksimalkan dengan memperkuat industri berorientasi ekspor seperti tekstil dan garmen, sepatu, serta furniture, yang dinilai punya prospek cerah ke depan.
Indonesia harus Percepat Deregulasi
Baca Juga: Kabar Baik! AS-China Capai Kesepakatan Pangkas Tarif, Barang-barang China hanya 30%, AS 10%
Namun, untuk bisa bersaing, Indonesia perlu mempercepat deregulasi, khususnya dalam hal perizinan usaha dan kemudahan ekspor. “Kebijakan yang memudahkan pelaku usaha sangat krusial saat ini,” tegas Fakhrul.
Selain itu, dari sisi neraca dagang dengan AS, Indonesia punya peluang untuk meningkatkan impor strategis dari sektor perminyakan, bahan kimia, hingga bahan pangan. Hal ini bisa menjadi poin penting dalam negosiasi dagang ke depan.
Fakhrul juga menyoroti pentingnya perubahan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). “Banyak investor dari AS yang berminat masuk, tapi tersendat karena aturan TKDN yang terlalu ketat,” jelasnya.
Melihat ke depan, Fakhrul mengingatkan bahwa volatilitas ekonomi adalah hal yang umum terjadi, apalagi menjelang 2025 yang diprediksi penuh tantangan. Perlambatan ekonomi global tak terelakkan, termasuk di Indonesia. Karena itu, memperkuat sirkulasi ekonomi domestik menjadi kunci dalam menjaga pertumbuhan.
“Kita harus mulai memperkuat fondasi ekonomi dalam negeri agar lebih tahan terhadap guncangan eksternal,” tutup Fakhrul.***