Ini Delapan Poin Penting dalam RUU TPKS yang Harus Dibahas

Forumterkininews.id, Jakarta – Upaya pemerintah untuk mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual terus digaungkan. Rencanaya hari ini DPR RI akan mengesahkan RUU tersebut agar segera dibahas pihak terkait.

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif LBH Apik, Ratna Batara Munti mengatakan, agar RUU Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual (TPKS) dapat maju. Yang mungkin bisa dipertimbangkan adalah melihat kembali unsur-unsur perbuatan dalam tiap bentuk kekerasan seksual. Menurutnya ada tujuh hal yang harus menjadi perhatian, agar RUU ini bisa melindungi perempuan.

Bentuk kekerasan

Pada prinsipnya, meskipun nama bentuk kekerasan seksual tidak dirumuskan secara terpisah menjadi 9 atau 10 rumusan bentuk. Namun sepanjang unsur-unsur perbuatan nama deliknya tetap bisa diakomodasi, ini dianggap solusi strategis.

Misalnya, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, dan eksploitasi seksual. Ketiga bentuk kekerasan seksual ini memiliki unsur perbuatan kurang lebih sama namun berbeda tujuannya.  Intinya dapat disederhanakan rumusannya tanpa mengurangi substansi yang pokok.

Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan dirumuskannya bentuk kekerasan seksual tersendiri karena memiliki unsur perbuatan yang sangat berbeda.  Seperti Perbudakan Seksual, yang merupakan tindakan kekerasan seksual gabungan satu atau lebih bentuk kekerasan seksual ditambah bentuk perbuatan yang lain.

Adapun terhadap Perkosaan dan Pemaksaan Aborsi yang akan diatur dalam RUU KUHP dapat dipertimbangkan adanya pasal penjembatan (bridging article) dalam RUU TPKS.

Dengan demikian, UU TPKS tetap berlaku terhadap bentuk kekerasan seksual yang diatur di UU lain di luar UU TPKS. Seperti aspek pencegahan, pemulihan, penanganan hukum acara, dan hak-hak korban lainnya.

Sistem Pembuktian

Pembuktian dalam hukum acara bertumpu pada KUHAP (Kitab UU Hukum Acara Pidana) masih mendiskualifikasi pengalaman perempuan korban. Keterangan korban seringkali tidak dipercaya, dan menuntut saksi di luar korban yang faktanya tidak mudah diperoleh. Ini membuat banyak laporan korban yang tidak dapat diproses atau kasusnya dihentikan.

Perlindungan terhadap Hak-hak Korban dan Saksi

Perlindungan terhadap korban dan saksi sebagian telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta perubahannya dalam UU Nomor 31 Tahun 2014. Namun, kedua UU ini memiliki keterbatasan. Pertama, perlindungan yang diberikan hanya dalam ruang lingkup proses hukum atau proses peradilan pidana (Pasal 2 UU Nomor 13 Tahun 2006). Faktanya, tidak semua korban yang melaporkan atau berhasil membawa kasusnya ke ranah hukum karena berbagai lapisan hambatan seperti belum pulih dari trauma, minim akses, tidak mendapat dukungan dan bantuan keluarga, tekanan dan stigma.

Selain itu, UU Perlindungan Saksi dan Korban hanya memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban dalam kasus-kasus tertentu. Seperti, pelanggaran HAM berat, terorisme, perdagangan orang, kekerasan seksual terhadap anak, dan korban yang terancam jiwanya. Tidak semua korban kekerasan seksual dapat mengakses perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

BACA JUGA:   Catat, Pemerintah Hapus Cuti Bersama Natal dan Tahun Baru
Pelayanan Terpadu dan Terintegrasi Satu Atap bagi Korban

Persoalan koordinasi antara lembaga penyedia layanan khususnya terkait kepentingan pemulihan kondisi korban dengan penegakan hukum seringkali tidak berjalan sinergis, sehingga merugikan korban. Seringkali proses hukum tidak berjalan karena menunggu pemulihan korban atau sebaliknya. Namun ketika korban dirujuk untuk pemulihan, sementara proses peradilan berjalan, dampak kekerasan dianggap sudah tidak ada.

Selain itu, pendekatan yang digunakan masih berupa sistem rujukan sehingga korban harus berurusan dari satu layanan ke layanan lainnya yang berbeda bangunan dan lokasi. Hal ini menjadi beban tersendiri dan menambah trauma bagi korban.

Pemidanaan dengan Ancaman Pidana Minimal, Pidana Tambahan, dan Tindakan

Dalam RUU TPKS, hanya satu bentuk kekerasan seksual yang memiliki sanksi pidana minimal, yaitu  Pasal 6  dalam draft RUU PKS yang sebelumnya disebut sebagai penyiksaan seksual. Selebihnya, tidak ada hukuman minimal termasuk untuk pemaksaan hubungan seksual. Ketiadaan pengaturan pidana minimal, akan berimplikasi potensi pemberian sanksi yang ringan bagi pelaku yang tidak sebanding dengan kejahatannya.

Sementara untuk pemberatan pidana bagi pihak-pihak tertentu yang melakukan kekerasan seksual seperti tenaga pendidik atau terhadap perbuatan tertentu seperti dilakukan secara berulang-ulang, telah diatur dalam Pasal 7 dengan memberikan pemberatan 1/3 dari hukuman yang diatur.

Upaya Pencegahan dan Perlindungan di Masyarakat

Di masyarakat terdapat kecenderungan bahwa perempuan korban mengalami reviktimisasi berulang   di masyarakat sementara hak-hak korban terabaikan. Lingkungan sekitar korban sering tidak responsif dan tidak cepat tanggap membantu korban untuk mendapat pemulihan segera. Malah bukan dukungan dan penguatan yang didapat korban, justru stigma negatif yang dilekatkan masyarakat.

Oleh karena itu, RUU PKS harus mengatur upaya-upaya yang  harus dilakukan baik oleh pemerintah, korporasi, dan organisasi maupun masyarakat dan individu, untuk mencegah kekerasan seksual dan melindungi korban. Selain itu, juga membangun langkah penghapusan stigma terhadap korban dengan melibatkan partisipasi masyarakat didalamnya.

Anggaran Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai Pemenuhan Kewajiban Negara

Negara berkewajiban memenuhi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negaranya sesuai amanat UUD 1945. Antara lain, hak untuk bebas dari rasa takut, bebas dari diskriminasi, bebas dari penyiksaan, hak atas hidup, dan hak berkembang secara optimal.

Untuk mewujudkannya, maka kewajiban tersebut perlu diatur dalam UU, tak terkecuali RUU PKS. Salah satunya adalah mengalokasikan anggaran dari pusat hingga daerah untuk pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual.

 

 

Artikel Terkait