Kadang Masalah Sepele, Tawuran di Jakarta Berakar dari Masa Lalu

FTNews – Belum genap sepekan, tawuran silih berganti terjadi di Jakarta. Tawuran di Bassura, Jakarta Timur pada Minggu (28/1). Di hari yang sama, tawuran juga terjadi di flyover Pasar Rebo, Jakarta Timur.

Diketahui penyebab tawuran di Bassura karena saling ejek beberapa orang pemuda. Sedangkan tawuran bersenjata tajam di flyover Pasar Rebo belum pasti penyebabnya. Sekelompok pemuda saling serang, hingga tangan seorang pelaku tawuran putus.

Peristiwa ini tentu deretan aksi kekerasan yang masih terjadi di kota metropolitan Jakarta. Bahkan dari catatan pemberitaan media kala itu, tawuran pertama kali di Jakarta terjadi pada 29 Juni 1968. Harian Kompas mencatatnya dalam artikel berjudul “Bentrokan Peladjar Berdarah”.

Dalam pemberitaan itu, tawuran para pelajar lakukan dengan tangan kosong. Kalau pun ada senjata hanya berupa tongkat dan bukan senjata tajam.

Semuanya berubah sejak tahun 1990an. Para pelaku tawuran mulai menggunakan senjata tajam. Bahkan dalam beberapa aksinya menggunakan senjata pelontar rakitan yang dapat menembakkan paku (dorlop) dan gir sepeda motor.

Jakarta Barat Mendominasi

Badan Pusat Statitik Jakarta mencatat di tahun 2020 (catatan terakhir) terjadi 113 kali tawuran. Rincian kejadiannya di Jakarta Selatan 15 kasus, Jakarta Timur 7, Jakarta Pusat 24, Jakarta Barat 48, Jakarta Utara 19 kasus. Selain melibatkan pelajar, tawuran antarwarga juga semakin masif.

Sosiolog Universitas Nasional Sigit Rochadi menilai maraknya tawuran antarwarga bermula dari peristiwa puluhan tahun lalu ketika tempat tinggal warga ditentukan berdasarkan batas-batas suku atau asal daerah.

“Di Jakarta misalnya terdapat Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Bugis, Kampung Arab, Pecinan dan sebagainya,” katanya kepada FTNews, di Jakarta, Selasa (30/1).

Lalu ketika ikatan kesukuan telah melemah karena modernisasi, perbedaan tempat tinggal ditandai dengan perbedaan kemampuan ekonomi atau profesi. Bahkan pekerjaan warganya menjadi penanda pemisah.

BACA JUGA:   Mudik 2024: Kecelakaan Turun 8 Persen Tapi Kualitas Layanan Ikutan Turun

Sigit menambahkan, pesatnya pembangunan kota-kota akibat urbanisasi dari berbagai lapisan sosial menyebabkan suku, pekerjaan bukan lagi faktor penting dalam segregasi.

“Sebaliknya relasi sosial yang biasanya dilakukan oleh anak-anak muda menjadi pembatas sosial,” imbuhnya.

Kekalahan dalam pertandingan catur, sepak bola dan acara lain menjadi penanda baru sentimen terhadap kampung atau RT/RW. Diperkuat oleh peristiwa peristiwa yang membanggakan kampung atau RT/RW.

Tawuran pelajar. Foto: Antara

Dari Masalah Sepele

Selama puluhan tahun sentimen tersebut jika terus dipupuk dapat membangkitkan perasaan superior suatu wilayah dan memandang wilayah lainnya lebih rendah.

“Akibat dari perasaaan tersebut, jika ada peristiwa berubah menjadi tawuran. Jadi tawuran antarwarga di kota terjadi karena masalah sepele tetapi telah memiliki sentimen negatif yang dibangun sejak lama,” jelas Sigit.

Menurutnya, pemerintah perlu menyelenggarakan acara-acara sosial yang melibatkan kampung-kampung yang terlibat tawuran secara bersama-sama.

Misalnya pengajian bersama antarkampung, doa bersama antarkampung, dan gotong royong membersihkan kampung secara bersama-sama.

Artikel Terkait