Korupsi Proyek Satelit, Eks Menhan Ryamizard Ryacudu dan Wiranto Bakal Diperiksa?

Forumterkininews.id, Jakarta – Tim penyidik tindak pidana khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa 11 saksi dalam penyelidikan kasus dugaan korupsi proyek satelit Slot Orbit 123 derajat bujur timur di Kementerian Pertahanan (Kemenhan).

Kini kasusnya sudah ditingkatkan ke penyidikan setelah adanya beberapa dokumen dan hasil audit BPKP, bahwa adanya perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan terjadinya kerugian negara hingga kurang lebih Rp1 triliun.

Lantas, apakah penyidik akan memeriksa mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu dan eks Menko Polhukam Wiranto? Mengingat, pelaksanaan pengadaan satelit itu terjadi ketika Ryamizard menjabat sebagai Menhan sejak 2014.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah, menyebut bahwa penyidik akan memanggil sejumlah pihak untuk meminta keterangan dalam rangka mengumpulkan alat bukti dan barang bukti terkait perkara penyewaan satelit  tersebut.

Kata Febrie, dalam penyidikannya akan melihat pihak-pihak yang bisa memperkuat pembuktian suatu perkara dengan memeriksa sejumlah saksi dari pihak swasta dan juga pejabat dari Kemenhan.

“Kita tidak lihat dalam kapasitas jabatan. Kita juga tidak lihat posisinya. Tetapi bagi orang-orang yang perlu dimintai keterangan dalam penyidikan, dan itu korelasinya untuk pembuktian, maka kita lakukan pemeriksaan. Saya rasa jaksa penyidik kita profesional,” kata Febrie dalam keterangannya, Sabtu (15/1/2022).

Pada saat masih penyelidikan, sudah ada 11 orang yang diminta keterangannya, termasuk pihak swasta hingga pejabat di Kemenhan.

Penyidik tengah mengumpulkan barang bukti guna menetapkan tersangka dalam kasus yang diduga merugikan keuangan negara kurang lebih Rp1 triliun.

“Untuk siapa pihak-pihak yang terlibat, kita tidak dapat sembarang untuk menentukan (tersangka) ya. Kecuali nanti alat bukti lah yang akan menentukan siapa-siapa saja yang bertanggung jawab,” ucap Febrie.

Sementara alasan proyek pengadaan satelit di Kemenhan ini tetap dilakukan pada 2015 meski tidak ada anggarannya, karena salah satunya ada inisiatif dari pihak swasta.

“Ketika pengadaan satelit dialihkan ke Kemenhan, disitulah jadi masalah, tapi kami melihatnya ini inisiatif dari pihak swasta yang mengambil alih,” tegasnya.

Lebih lanjut dikatakannya, proyek pengadaan satelit komunikasi pertahanan seharusnya dikerjakan oleh Kemenko Polhukam, namun berpindah ke Kemenhan tanpa adanya proses persiapan penganggaran terlebih dahulu.

“Ini ngambil slotnya yang memang dipindahkan ke Kemenhan dari kemenko. Hal itu yang didalami kenapa bisa berpindah, sementara Kemenhan tidak menganggarkan,” paparnya.

Lebih lanjut terkait pengusutan kasus dugaan korupsi penyewaan satelit ini, kata Febrie, pihaknya selalu berkoordinasi dengan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (JAM Pidmil). Sebab beberapa saksi yang diperiksa melibatkan anggota TNI di Kemenhan.

BACA JUGA:   Temui Aremania, KSP Janji Tindaklanjuti Tragedi Kanjuruhan

“Dan kenapa JAM Pidmil hadir? karena memang proyek ini ada di Kemenhan. Tentu ada saksi-saksi juga yang kita periksa dari rekan-rekan kita di TNI,” pungkasnya.

Untuk diketahui, dugaan korupsi penyewaan satelit komunikasi pada Kemhan dilakukan pada 2015. Penyimpangan itu berujung adanya gugatan di Pengadilan Arbitrase Internasional, dan pemerintah Indonesia menjadi tergugat.

Kasus korupsi penyewaan satelit berawal pada 19 Januari 2015 saat Satelit Garuda 1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT). Sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.

Kemenhan kemudian menyewa satelit kepada Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015 untuk mengisi sementara kekosongan. Padahal, Kemenhan tidak mempunyai anggaran untuk pengadaan satelit tersebut.

Bahkan penyewaan satelit tidak perlu dilakukan. Sebab, negara mempunyai waktu tenggang paling lama 3 tahun untuk mengisi slot tersebut. Sehingga ada perbuatan melawan hukum.

Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.

Namun, Kemenhan tetap menyewa satelit kepada Avanti. Hal tersebut berujung gugatan arbitrase di London karena Kemenhan disebut tidak membayar nilai sewa sesuai dengan kontrak yang ditandatangani.

Pada 9 Juli 2019, Pengadilan Arbitrase menjatuhkan putusan bahwa Negara harus membayar. Negara pun mengeluarkan pembayaran dengan nilai Rp 515 miliar.

Tak hanya itu, penyimpangan diduga terjadi dalam pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) Kemenhan pada 2015.

Untuk membangun Satkomhan, Kemenhan menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu Tahun 2015-2016.

Anggarannya pada saat 2015 juga belum tersedia. Sedangkan di Tahun 2016, anggaran telah tersedia, namun dilakukan self blocking oleh Kemenhan.

Kontrak itu berujung pada gugatan Navayo di Pengadilan Arbitrase Singapura. Nilainya hingga USD 20 juta atau sekitar hampir Rp300 miliar.

Nilai Rp 515 miliar ditambah USD 20 juta atau sekira Rp 800 miliar yang harus dibayar negara, dan masih akan bertambah setelah dilakukan pengembangan. Sebab, negara masih berpotensi digugat sejumlah perusahaan lain yang menjalin kontrak dengan Kemenhan terkait proyek satelit tersebut.

Artikel Terkait