OPSI Sorot Tiga Pasal di UU Tapera Cenderung Memaksa

FTNews – Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) menyoroti sejumlah pasal dalam undang-undang terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang cenderung memaksa. Bahkan pasal-pasal yang dimaksud sebenarnya sudah ada UU lain yang mengaturnya sehingga terkesan tumpang tindih.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menyoroti setidaknya ada tiga pasal yakni Pasal 7,9 dan 18 dalam UU Tapera terbaru yang cenderung memaksa. Revisi harus DPR lakukan, sehingga Tapera tidak wajib tetapi sukarela.

OPSI menilai kehadiran UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) baik untuk mendukung semua masyarakat memiliki rumah. Rumah adalah kebutuhan pokok bagi semua rakyat.

Awalnya UU itu hanya untuk mengakomodir perumahan bagi pegawai negeri melalui program Taperum. Namun dengan hadirnya UU No 4 Tahun 2016 junto PP No 25 Tahun 2020 junto PP 21 Tahun 2024 maka seluruh pekerja dan masyarakat mandiri diikutkan dalam penyediaan perumahan tersebut.

“Saya usul agar kewajiban kepesertaan pekerja swasta, BUMN, BUMD diubah menjadi kepesertaan sukarela. Sehingga bila ada perusahaan swasta, BUMN, BUMD yang ingin menjadi peserta Tapera ya diperbolehkan. Namun bila perusahaan tidak mau menjadi peserta Tapera ya diperbolehkan juga,” kata Timboel di Jakarta, Rabu (29/5).

Tapera jadi polemik
Deretan rumah. Foto: PUPR

Kewajiban Peserta

Pasal UU Tapera yang memaksa itu antara lain, Pasal 7 UU Tapera mengatur soal kepesertaan pekerja dan pekerja mandiri berdasarkan penghasilannya. Kemudian Pasal 9 mengamanatkan pekerja tersebut menjadi peserta Tapera.

Selanjutnya pada Pasal 18 mengatur soal kewajiban pemberi kerja dan pekerja untuk membayar iuran Tapera tersebut. Besarannya 3 persen dengan rincian 2,5 persen dari pekerja dan 0,5 persen dari pemberi kerja.

“Dari tiga pasal itu, pekerja tidak otomatis mendapat manfaat Tapera yaitu KPR, pembangunan rumah dan perbaikan (renovasi) rumah,” imbuhnya.

BACA JUGA:   Arus Balik Lebaran, Pengunjung Rest Area Alami Kenaikan

Koordinator Advokasi BPJS Watch ini menjelaskan, mengacu pada 38 ayat (1b dan 1c) ada kriteria penerima manfaat Tapera. Yakni golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Melansir laman BP Tapera, MBR adalah mereka yang berpenghasilan maksimal Rp 8 juta per bulan dan Rp 10 juta per bulan untuk wilayah Papua dan Papua Barat.

“Pekerja dengan upah di atas Rp 8 juta dan di atas 10 juta untuk wiayah Papua dan Papua Barat, sebenarnya juga masih sulit mengakses pinjaman KPR untuk memiliki rumah. Tapi di Tapera tidak berhak mendapat manfaat Tapera,” tuturnya.

Berikutnya, dana yang Tapera pupuk tidak ada kepastian imbal hasilnya. BP Tapera menentukan secara subjektif. Hal ini berbeda dengan dana jaminan hari tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan. Yang imbal hasilnya minimal sama dengan rata-rata deposito bank pemerintah.

Artikel Terkait

Digulingkan Karena Timses Ganjar, Arsjad Rasjid: Tidak Relevan

FT News – Arsjad Rasjid menjawab isu mengenai dirinya...

Mengenal Anindya Bakrie, Ketua Kadin Melalui Munaslub

FT News – Pengusaha Anindya Bakrie akhirnya diumumkan menjadi...

Menko Marves Kunjungi TSTH2 di Pollung, Cek Ribuan Bibit Tanaman Herbal

FT News - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi,...