Pegi Setiawan Disebut Jadi Korban Salah Tangkap, Jika Terbukti Apa Gantinya?

FTNews – Tersangka Pegi Setiawan disebut menjadi korban salah tangkap dalam kasus pembunuhan Vina dan kekasihnya, M Rizky Rudian di Cirebon. Hal ini dinyatakan oleh saksi ahli pidana yang dihadirkan dalam sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, pada Rabu (3/7).

Saksi Ahli Pidana, Suhandi Cahaya mengatakan bahwa status tersangka yang ditetapkan terhadap Pegi Setiawan harusnya disertai dua alat bukti. Seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka apabila terbukti melakukan tindak pidana. Sementara itu status tersangka Pegi juga dapat digugurkan melihat kewenangan dari pengadilan.

“Kalau pendapat saya, apa yang diajukan penyidik ke Pegi Setiawan sesuai apa yang saya baca dalam tuntutan praperadilan itu, nampaknya salah tangkap,” ungkapnya.

Lalu bagaimana jika akhirnya Pegi Setiawan menjadi korban salah tangkap? Melansir laman resmi hukumonline.com, berikut beberapa bentuk ganti rugi yang didapat bagi korban salah tangkap;

Ganti Rugi

Ilustrasi perencanaan keuangan. (Foto: Pexels)

Ganti rugi bagi korban atas kesalahan penyidik tercantum dalam Pasal 1 ayat 23 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ganti rugi merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya. Hal ini dapat berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang.

Penangkapan yang mengalami kekeliruan mengakibatkan korban ditahan dalam rutan, padahal tidak bersalah sama sekali. Hal ini jelas merugikan korban secara materil maupun immaterial. Akibat salah tangkap, korban juga mengalami hilang hak berupa hak hidup, hak pemilikan, hak memelihara kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan, dan hak ilmu pengetahuan.

Tuntunan permintaan ganti rugi yang dilakukan tersangka atau terdakwa atau ahli warisnya merupakan suatu perwujudan perlindungan hak asasi, harkat dan martabat. Terdapat dua tuntutan ganti rugi dalam KUHAP, yaitu:

a. Ganti kerugian yang ditujukan kepada aparat penegak hukum yang diatur dalam bab XII bagian kesatu.

b.Ganti kerugian yang ditujukan kepada pihak yang bersalah, yang merupakan penggabungan perkara pidana dengan perkara gugatan ganti kerugian yang diatur bab XIII.

Ketentuan mengenai ganti rugi bagi korban salah tangkap tertuang dalam PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP sebagaimana telah diubah dengan PP No. 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dalam masyarakat sehingga dilakukan penyesuaian.

Sesuai dengan Pasal 9, bahwa korban salah tangkap atau korban peradilan sesat, adalah:

1. Besaran ganti rugi korban salah tangkap/korban peradilan sesat paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.

2. Besaran ganti rugi korban salah tangkap/korban peradilan sesat yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan paling sedikit Rp 25.000.000 dan paling banyak RP 300.000.000.

BACA JUGA:   Mengaku Salah Prosedur OTT Kepala Basarnas, KPK Minta Maaf

3. Besaran ganti rugi korban salah tangkap/korban peradilan sesat yang mengakibatkan mati, paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak Rp 600.000.000.

Ganti rugi bagi korban salah tangkap juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 mengenai jangka waktu ganti rugi bagi korban salah tangkap. Pasal 11 menyebutkan bahwa, pembayaran ganti rugi dilakukan oleh Menteri Keuangan dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti rugi oleh Menteri.

Rehabilitasi

Ilustrasi Rehabilitasi (Foto: istimewa)

Pemulihan harkat dan martabat seorang tersangka atau terdakwa yang salah tangkap dilakukan dengan pemberian rehabilitasi. Hal ini merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya agau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Rehabilitasi dapat diberikan melalui putusan pengadilan ataupun dalam bentuk penetapan. Rehabilitasi bagi terdakwa diatur dalam Pasal 97 ayat (2) KUHAP;

Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). “Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”.

Apabila dalam amar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut tidak sekaligus dicantumkan tentang pemberian rehabilitasinya, maka berdasarkan SEMA 11/1985, yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama. Pengadilan Negeri setelah menerima permohonan itu kemudian memberikan rehabilitasi yang diminta orang tersebut yang dituangkan dalam bentuk penetapan.

Dengan demikian, jika dalam amar putusan telah dicantumkan mengenai pemberian rehabilitasi, maka harkat martabat terdakwa telah dipulihkan melalui putusan tersebut. Namun, jika dalam dalam amar putusan tidak dicantumkan mengenai pemberian rehabilitasi, yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkaranya di tingkat pertama.

Adapun, permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (3) KUHAP diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang, selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.

Jika permintaan rehabilitasi diajukan bersama-sama dengan permintaan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan, maka penetapan tentang rehabilitasi dicantumkan sekaligus dengan penetapan sah tidaknya penangkapan atau penahanan tersebut. “Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”.

Artikel Terkait