PLTS Menjamur di Dunia, Bagaimana di Indonesia?

FTNews – Kelakuan manusia kerap membuat Bumi pertiwi ini menangis tiada hentinya. Manusia secara pelan-pelan membunuh satu-satunya tempat tinggalnya saat ini. Oleh karena itu, muncullah Paris Agreement yang memaksa semua negara yang berpartisipasi di tahun 2016. Hal ini untuk menjaga Bumi agar suhunya tidak meningkat sebesar 1,5 derajat Celcius, serta melawan perubahan iklim. 

Melalui perjanjian ini juga, setiap negara berlomba-lomba untuk menggunakan energi hijau, termasuk dalam penyediaan listriknya. Tidak lagi menggunakan tenaga fosil, negara-negara berlomba-lomba menggunakan pembangkit listrik tenaga terbarukan, seperti tenaga surya.

Berdasarkan data dari Ember Climate, lembaga non-profit yang bergerak di bidang transisi energi hijau, membawa kabar gembira. Di tahun 2023, terjadi pertumbuhan sebesar 30 persen dalam penggunaan pembangkit listrik berenergi hijau. Banyak negara-negara menggunakan pembangkit listrik tenaga angin dan surya. 

Fenomena ini menghasilkan sebanyak 40 persen energi hijau di dunia. Hasilnya, intensitas karbon dari sektor ketenagalistrikan di dunia menurun, bahkan menyentuh rekor baru.

“Peningkatan kapasitas tenaga surya yang terjadi pada tahun 2023 benar-benar membuka kemungkinan bahwa kita dapat mencapai tingkat energi terbarukan tersebut pada tahun 2030. Dan peningkatan kapasitas tiga kali lipat seperti yang dijanjikan pada COP28,” unkgap Dave Jones, direktur Global Insight Ember dalam sebuah pernyataan, mengutip dari Reuters.

Dibandingkan dengan energi hijau lainnya, angin dan surya berhasil berkembang lebih pesat dari yang lain. Kedua energi terbarukan ini menghasilkan listrik 3,935 teraWatt-jam (TWh) atau sekitar 13,4 persen dari total listrik yang berasal dari energi hijau.

Atas meningkatnya ketenagalistrikan berenergi hijau, penduduk bumi harus berterima kasih kepada China. Negara Tirai Bambu ini telah menyumbang 51 persen dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan 60 persen PLT angin di dunia pada tahun 2023. China, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Brazil menjadi penyumbang terbesar PLTS di dunia dengan menguasai sekitar 81 persennya.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Indonesia

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di Waduk Cirata. (Foto : Antara/Raisan Al Farisi)

Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan PLTS sebagai pembangkit listriknya. Ini merupakan salah satu upaya Indonesia untuk memenuhi tuntutan dari Paris Agreement.

BACA JUGA:   Irjen Pol Karyoto, Dari KPK Bergeser ke Kapolda Metro Jaya

Untuk mengejar net zero emission (NZE) di tahun 2060, Pemerintah Indonesia menargetkan PLTS dapat menyumbang 3,6 gigaWatt (GW) di tahun 2025. Saat ini, permintaan energi di Indonesia mencapai 300 TWh. Di tahun 2050 nanti, angka ini dapat meningkat lagi hingga menyentuh 9.000 TWh.

Pada tahun 2023, Dewan Energi Nasional mencatat bahwa energi surya memiliki potensi pemanfaatan terbesar di Indonesia. Perkiraannya, tenaga surya dapat menyumbang hingga 3.294 GW. Sayangnya, pemanfaatannya hanya berkisar di angka 0,3 GW. Atau, hanya sekitar 0,01 persen dari potensinya.

Saat ini, pembangkit listrik tenaga surya di Indonesia ada sebanyak 25 yang tersebar di berbagai daerah Indonesia. Namun, jumlah listrik yang dihasilkan masih terbilang kecil. Di mana, 13 PLTS masih hanya menghasilkan listrik di bawah 200 kiloWatt (KW).

PLTS yang memiliki potensi terbesar saat ini adalah PLTS Terapung Cirata, Purwakarta, Jawa Barat. Pembangkit listrik yang seluas 200 hektare (ha) ini dapat memproduksi hingga 245 GW per tahunnya yang dapat menerangi lebih dari 50 ribu rumah. Bahkan, PLTS yang memiliki lebih dari 340 ribu panel surya ini berpotensi menghasilkan listrik sebesar 360 GW.

Selain di Cirata, calon ibu kota baru Indonesia, Ibu Kota Nusantara (IKN), juga menggunakan tenaga surya untuk menghidupkan kotanya. PLTS IKN yang seluas 80 ha dengan 21.600 panel surya dapat menghasilkan daya hingga 50 megaWatt (MW). Namun, saat ini masih hanya sebesar 10 MW yang beroperasi melalui sinkronisasi tahap I.

Tantangan Indonesia dalam Membangun PLTS

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Waduk Cirata. (Foto : Antara)

Untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya di Indonesia, terdapat sejumlah tantangan. Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat bahwa pengembangan PLTS di Indonesia setidaknya terdapat tiga permasalahan.

  1. PLN membatasi nilai maksimum PLTS atap menjadi 10-15 persen dengan alasan overcapacity.
  2. Tren pertumbuhan PLTS di Indonesia masih rendah. Yaitu, jumlah pengadopsian pembangkit listrik ini masih di bawah 1 persen, bahkan hanya 0,01 persen dari potensi yang ada.
  3. Terbatasnya ruang gerak pengembang swasta di sektor PLTS off-grid. Terutama, dengan regulasi-regulasi PLN dan adanya keterbatasan kewenangan di tingkat provinsi.

Artikel Terkait

BPBD Ungkap Potensi dan Risiko Megathrust

FT News – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI...

DPR Sahkan UU Kementerian, Jumlah Sesuai Kebutuhan

FT News – DPR RI secara resmi telah mengesahkan...

KPPU Duga Lion Air Group Lakukan Monopoli Harga Tiket Pesawat

FT News – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga...