Sidik Korupsi Pabrik Blast Furnace Krakatau Steel, Kejagung Datangkan Tim Ahli

Forumterkininews.id, Jakarta – Tim penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusut kasus dugaan korupsi proyek pembangunan pabrik Blast Furnance yang dilakukan PT Krakatau Steel (Persero).

Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah mengatakan bahwa dalam pembangunan pabrik Blast Furnance tersebut, telah ditemukan adanya  perbuatan melawan hukum terkait kasus dugaan korupsi di PT Krakatau Steel.

“Untuk kasus dugaan korupsi di PT Krakatau Steel, sudah diketahui adanya perbuatan melawan hukumnya,” kata Febrie kepada forumterkininews.id dalam keterangannya, Sabtu (26/2/2022).

Untuk menghitung kerugian negara, kata Febrie, pihaknya bakal mendatangkan tim ahli untuk berdiskusi mengenai penilaian spesifikasi terkait bahan baku pembangunan pabrik Blast Furnance. Sebab pabriknya hingga kini tidak bisa digunakan karena pembangunan mangkrak.

Bahkan tim penyidik akan mengundang auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Untuk menghitung kerugian, penyidik sedang berdiskusi dan akan mendatangkan ahli spesifik mengenai pabriknya. Kalau ternyata dilihat pabriknya memang tidak sesuai apa yang telah direncanakan sejak awal, sehingga gagal digunakan, mangkrak, baru nanti kita gandeng auditor,” papar Febrie.

Selain itu, tim penyidik pidsus Kejagung akan mendalami nilai anggaran yang telah digunakan oleh perusahaan pelat merah tersebut untuk membangun pabrik tersebut.

“Ketika ini ada kekurangan, kita lihat nilai uangnya berapa. Kejaksaan sekarang ini penyelidiknya dengan ahli akan masuk dengan opname pabrik,” tuturnya.

Mantan Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung ini menegaskan bahwa ada perbuatan melawan hukum saat proses pembangunan pabrik Blast Furnance yang dilakukan PT Krakatau Steel.

“Dalam proses pembangunannya tentunya, ada beli mesin, menyangkut teknologi, ada menggunakan bahan baku contohnya gas,” tegasnya.

Nantinya, lanjut Febrie, pihaknya akan memeriksa sejumlah saksi untuk mengetahui ada tidaknya kesengajaan saat membeli bahan baku dan mesin untuk pembangunan pabrik.

“Nah dari pengadaan itu dilihat, ketika pengeluaran itu terjadi, ada nggak kemahalan. Kemudian ada nggak kesengajaan untuk beli barang yang di bawah spek, sehingga akibatnya PT Krakatau Steel tidak bisa produksi sesuai yang direncanakan dari pabrik itu,” ucap eks Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta ini.

BACA JUGA:   Bareskrim Usut Dugaan Korupsi Anggaran Pengadaan Gerobak di Kemendag

Sebelumnya diketahui, dalam proyek pembangunan pabrik tersebut, diduga terjadi kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Tim penyidik pada Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus (JAMPidsus) Kejagung telah memeriksa 50 saksi untuk dimintai keterangan terkait pembangunan pabrik baja nasional.

“Kasus tersebut telah dilakukan penyelidikan berdasarkan surat perintah penyelidikan dari Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print- 22/F.2/Fd.1/10/2021 tanggal 29 Oktober 2021,” kata Jaksa Agung RI Burhanuddin dalam keterangannya, Jumat (25/2/2022).

Ia mengatakan, kasus dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi antara 2011 sampai 2019, dimana PT Krakatau Steel membangun pabrik Blast Furnace (BFC) dengan menggunakan bahan bakar Batubara,  agar biaya produksi lebih murah.

“Jika dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar gas, maka biaya produksi akan lebih mahal,” sambungnya.

Proyek tersebut, lanjut Burhnuddin, dibangun dengan maksud untuk memajukan industri baja nasional.

Jaksa Agung menjelaskan, pada awalnya proyek pembangunan pabrik Blast Furnace (BFC) tersebut dilaksanakan oleh Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering sesuai hasil lelang pada 31 Maret 2011 dengan nilai kontrak setelah mengalami perubahan sebesar  6.921.409.421.190 (Rp 6 triliun lebih). Begitu  juga

“Dan telah dilakukan pembayaran ke pihak pemenang,” tambah dia.

Namun demikian pekerjaan proyek kemudian dihentikan pada 19 Desember 2019. Padahal proyek pekerjaan belum 100% berjalan setelah dilakukan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar.

Selain itu, pekerjaan sampai saat ini belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi.

“Oleh karena itu peristiwa pidana tersebut dapat menimbulkan kerugian keuangan negara,” ucapnya.

Artikel Terkait