Transisi Menuju Kendaraan Listrik, Apakah Lebih Ramah Lingkungan?

FTNews – Seperti yang kita ketahui, Pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya mempromosikan transisi kendaraan listrik ke masyarakat.

Dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle), menunjukan upaya pemerintah mempercepat transisi tersebut.

Pemerintah Indonesia juga telah memunculkan usaha baru yang timbul karena proses ini yang bernama battery swapping. Usaha ini untuk mempermudah dan mempercepat para pengguna kendaraan listrik berbasis baterai, terutama sepeda motor listrik untuk melakukan pengisian ulang.

Pemerintah Indonesia sangat gencar dalam program ini demi mencapai net zero emission pada tahun 2060 atau bisa lebih cepat. Terutama, kondisi alam di dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja akibat dari polusi dan efek rumah kaca yang kian meningkat setiap tahunnya.

Namun, apakah transisi menuju ke kendaraan tenaga listrik merupakan arah yang tepat?

Kendaraan Listrik untuk Keberlangsungan Alam

Ilustrasi kendaraan listrik sedang pengisian daya. Foto: Antara

Indonesia memiliki jumlah penduduk sekitar 273,8 juta manusia di tahun 2022, yang merupakan peringkat empat di dunia dengan jumlah penduduk terbanyak. Sekitar 148 juta penduduknya, memiliki kendaraan bermotor yang 125 juta di antaranya adalah sepeda motor.

Kendaraan-kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak masih sangat mendominasi sehingga menimbulkan satu permasalahan, yaitu polusi.

Untuk memerangi permasalahan ini, Pemerintah Indonesia menggencarkan penggunaan kendaraan yang menggunakan bahan bakar listrik. Selain itu, sebagai negara yang memiliki sumber daya alam bahan dasar baterai terbesar di dunia, nikel, Indonesia memanfaatkan hal ini untuk menciptakan energi hijau.

Sebuah penelitian dari Universitas Gajah Mada mengatakan bahwa dengan kendaraan listrik, dapat mengurangi polusi udara dan emisi gas rumah kaca (GRK). Kendaraan listrik jauh lebih sedikit menghasilkan polusi udara dan mendekati nol jika dibandingkan dengan kendaraan berbasis mesin pembakaran internal (ICE).

Berdasarkan data dari Climate Transparency, sektor transportasi menyumbang 25 persen dari polusi yang ada di Indonesia, tertinggi kedua di bawah ketenagalistrikan. Jika menggunakan kendaraan listrik, kendaraan tersebut hampir tidak mengeluarkan emisi, sehingga dapat menekan angka polusi dari sektor transportasi.

Pemerintah Indonesia sangat mendukung penggunaan kendaraan listrik ini sampai membuat subsidi yang khusus untuk kendaraan listrik saja. Hal ini memperlihatkan keseriusan Pemerintah Indonesia untuk mengurangi polusi dari sektor transportasi.

Apakah Kendaraan Listrik se-‘Bersih’ Itu?

Ilustrasi tambang nikel di Indonesia. Foto: Media Indonesia

Pembuatan kendaraan listrik memang memiliki tujuan yang sangat mulia, yaitu mereduksi polusi yang ada di Indonesia, bahkan di dunia. Namun, bukan berarti kendaraan listrik ini ‘bersih’ dari emisi dan GRK.

BACA JUGA:   Pesona Ponsel Lipat di 2024 Terkerek

Salah satu bahan baku dari baterai adalah nikel, yang merupakan hasil dari sektor pertambangan. Namun, kegiatan tambang sebenarnya juga merusak alam dan menghasilkan polusi.

Saat ini, polusi yang berasal dari sektor perindustrian Indonesia mencapai 23 persen, tepat di bawah sektor transportasi.

Badan Energi Internasional (IEA), mencatat bahwa mobil listrik mencapai rekor penjualan global pada tahun 2022, yaitu sebanyak 10 juta mobil. Selain itu, IEA juga memprediksi akan adanya peningkatan permintaan pasar akan mobil listrik itu sendiri.

Dengan meningkatnya permintaan mobil listrik, maka akan meningkat juga permintaan pasokan baterai dan material lainnya. Pada tahun 2022, IEA juga mencatat permintaan sebanyak 60 persen lithium, 30 persen kobalt, dan 10 persen nikel hanya untuk pembuatan baterai kendaraan listrik.

Tidak hanya polusi, keberadaan tambang-tambang ini dapat merusak alam-alam yang ada di Indonesia, bahkan di dunia. Sebuah penelitian dari Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), mengatakan pertambangan telah merusak 3.264 kilometer persegi hutan dari tahun 2000 hingga 2019.

Salah satu negara yang memiliki kerusakan hutan terbesar adalah Indonesia, yang berakibat dari penebangan besar-besaran dan konversi lahan. Selain itu, Journal for Nature Conservation juga mengatakan sebanyak 84 persen spesies harus terancam punah karena kegiatan-kegiatan tersebut.

Lalu, Apa Solusinya?

Ilustrasi hutan dan pemukiman. Foto: canva/Deri Sopian

Sebenarnya, selalu terdapat kerusakan lingkungan dalam sebuah pembangunan. Namun, kerusakan beserta dampaknya dapat diminimalisasikan.

Seperti salah satu permasalahan yang ada di dalam pertambangan adalah dalam analisis dampak lingkungannya. Para perusahaan tambang memasukkan dampak lingkungan yang secara langsung, namun tidak yang tidak secara langsung.

Ini akan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang seharusnya dapat dicegah dari awal.

Sebuah penelitian dari Universitas Mulawarman mengatakan bahwa pemerintah harus dapat lebih berperan dalam hal ini. Pemerintah harus dapat meminimalisirkan dampak negatif yang timbul akibat sektor pertambangan.

Upaya-upaya pemerintah untuk meminimalisir dampak negatif dari pertambangan sendiri dapat berupa dari kebijakan-kebijakan pemerintah sendiri. Seperti, pembenahan regulasi penambangan yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. 

Selain itu, membuat standar pengelolaan lingkungan hidup yang tinggi juga sangat penting dalam memerangi polusi.

Artikel Terkait