UKT Batal Naik, Seharusnya Status PTN-BH Juga Diubah

FTNews – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim membatalkan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) tahun ini. Namun Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) ragu akan keputusan UKT batal naik itu, seharusnya aturan terkait status Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) juga ikut dicabut.

Kemarin, Senin (27/5) usai Presiden Joko Widodo memanggil Menteri Nadiem di Istana, kebijakan pembatalan kenaikan UKT ia batalkan. Kenaikan UKT ini menuai gelombang protes mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi. Kebijakan ini memberatkan mahasiswa.

Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji berpandangan, pembatalan kenaikan UKT ini hanya bersifat sementara. Hanya untuk meredam aksi mahasiswa, dan tentu saja tidak menyelesaikan masalah.

Karena itu, JPPI menyayangkan kebijakan Mendikbudristek terkait UKT batal naik ini tanpa dibarengi dengan pencabutan Permendikbudristek No 2 Tahun 2024. Juga komitmen untuk mengembalikan status PTN-BH menjadi PTN.

“Selama UU Pendidikan Tinggi No 12 Tahun 2012 tidak dicabut, maka semua PTN akan berstatus menjadi PTN-BH. Ini berakibat pada pengalihan tanggung jawab pembiayaan pendidikan, yang menyebabkan UKT mahal,” katanya di Jakarta, Selasa (28/5).

Fakta ini lanjutnya, menunjukkan bahwa Mendikbudristek tidak serius ingin menjadikan biaya UKT ini menjadi berkeadilan dan inklusif untuk semua.

Ubaid kembali menegaskan selama Permendikbudristek itu tidak pemerintah cabut, status PTN-BH tidak menjadi PTN maka hampir pasti UKT kembali naik di tahun 2025.

“Mahasiswa jangan merasa puas dan senang dengan pernyataan Mendikbudristek. Sebab, tahun depan akan kembali naik dan mahasiswa lama juga akan terkena imbasnya.

Dua mahasiswa tampak bercengkrama keluar dari gedung kampus. Foto: Freepik

Komersialisasi Pendidikan

JPPI juga menegaskan, selama mempertahankan status PTN-BH akan terus memuluskan agenda komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Di mana biaya pendidikan tinggi tidak lagi menjadi tanggung jawab negara, tetapi seperti sekarang diserahkan pada mekanisme pasar.

BACA JUGA:   Pemilu di Papua Pakai Sistem Noken, Apa Itu?

Sebenarnya, anggaran pendidikan sebesar RP665 triliun di APBN 2024 itu sangat mungkin dan leluasa untuk pemerintah alokasikan dalam pembiayaan pendidikan tinggi.

Namun sayangnya kebijakan pemerintah pro pada komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi melalui kebijakan PTN-BH.

Ubaid menambahkan, bantuan untuk mahasiswa dari keluarga miskin yang katanya 20 persen di PTN-BH itu hanyalah kamuflase saja. Nyatanya, KIP-Kuliah banyak salah sasaran. Bahkan kampus tidak memenuhi jumlah minimum 20 persen untuk mahasiswa dengan skema UKT kelompok 1 dan kelompok 2.

Belum lagi masalah soal mahasiswa dengan kemampuan ekonomi menengah, mereka merasa sangat terbebani dan tidak mampu bayar UKT, karena itu banyak di antara mereka yang putus kuliah di tengah jalan.

Artikel Terkait