Uni Eropa Resmikan UU Net Zero Industry

FTNews – Uni Eropa (EU) resmi menandatangani sebuah undang-undang (UU) baru, yaitu UU Net Zero Industry (NZIA), Senin (27/5). Aturan tersebut akan mulai berlaku pada bulan depan atau awal bulan Juli.

UU baru tersebut akan mengatur perserikatan ini agar dapat menghasilkan 40 persen teknologi hijau. Mulai dari panel surya, turbin angin, pompa panas, dan peralatan teknologi bersih lainnya. Hal ini guna agar industri di Eropa sendiri dapat bersaing dengan para rivalnya, seperti Amerika Serikat (AS) ataupun China.

Melansir dari Reuters, NZIA tidak hanya akan berfokus kepada perusahaan-perusahaan untuk memangkas emisi gas rumah kacanya (GRK). Juga, untuk memanufaktur teknologi yang dibutuhkannya juga.

Saat ini, Eropa masih sangat bergantung kepada China dalam bidang energi, terutama energi surya. China sendiri merupakan salah satu negara dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terbesar di dunia. Negeri Tirai Bambu ini memiliki kapasitas energi surya terbesar di dunia dengan kapasitas 306,973 megawatts (MW) pada tahun 2021, menurut World Population Review.

Selain itu, Uni Eropa juga khawatir akan berpindahnya produsen di Eropa menuju AS. Sebabnya, AS memiliki UU Pengurangan Inflasi, yang dapat memberi subsidi hijau kepada pengusaha-pengusaha nilainya mencapai $369 miliar atau sekitar Rp5,9 triliun.

Mengejar Target di 2040

Ilustrasi kincir angin sebagai teknologi hijau. Foto: Canva

Dengan hadirnya UU Net Zero Industry, EU berharap dapat memproduksi produk untuk mengurangi gas rumah kaca sebesar 40 persen di tahun 2030. Pada tahun 2040 nanti, mereka bercita-cita agar produksi global dari teknologi-teknologi tersebut mencapai angka 15 persen di dunia. 

Melalui NZIA juga, mereka mengusulkan perampingan pemberian izin untuk proyek-proyek yang meningkatkan manufaktur EU. Serta, memastikan mempercepat pengeluaran sebagian besar izin dalam waktu enam hingga sembilan bulan.

BACA JUGA:   Jemaah Haji Indonesia Akan Dapat Smart Card, Apa Itu?

Otoritas publik yang hendak membeli produk-produk teknologi ramah lingkungan harus memikirkan pilihan mereka. Tidak hanya pada harga saja, juga mempertimbangkan bobot 30 persen pada keberlanjutan dan ketahanan. Yaitu, yang saat ini di mana EU masih bergantung pada pasokan dari satu third country.

Artikel Terkait