Walhi Sumut: 40 Bencana Ekologis di Sumut Didominasi Banjir dan Longsor

FT News – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Utara (Walhi Sumut) mencatat ada 40 bencana ekologis di Sumut yang terjadi, sebagian besar berupa banjir dan longsor. Bencana ini menyebabkan 22 meninggal, 1.000 jiwa mengungsi, 1.231 bangunan rumah dan infrastruktur hancur.

“40 bencana ini terjadi karena pembiaran, yakni pembiaran hilangnya hutan area tangkap air dan minimnya infrastruktur pengendalian banjir dari hulu dan hilir. Serta sistem peringatan bencana yang lemah. Hutan di hulu rusak melalui pembiaran deforestasi, tidak adanya sistem pengendalian banjir yang baik, ditambah tata kelola wilayah hutan diberikan kepada perusak hutan,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Rianda Purba, Selasa (3/9/2024).

Dirinya mengaku pernah mendengar kasus banjir di Desa Simangulampe, Kabupaten Humbahas yang menelan korban jiwa. Kemudian, Medan yang selalu banjir, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Mandailing Natal dan wilayah lain di Sumut yang rawan terhadap bencana ekologis banjir dan longsor terus terjadi setiap tahunnya.

Kemudian, Konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri) di kawasan hutan, Pembangunan mega infrastruktur proyek strategis nasional (PSN) seperti Food estate, PLTA Batang Toru yang berada di zona gempa dan rawan longsor, pertambangan dan lain sebagainya, harus ditinjau secara kritis melihat perubahan fungsi kawasan lindung, kawasan rawan bencana hingga situasi sosial masyarakat.

Pendekatan penanganan bencana dan solusi teknis bencana sangat tidak cukup. Agenda-agenda pembangunan baik nasional maupun daerah seringkali tanpa didahului atas kajian lingkungan hidup yang menyeluruh, tanpa memperhatikan FPIC (Free and Prior Informed Consent).

“Serta konflik agraria dan sumberdaya alam, dan kriminalisasi terhadap masyarakat dan pejuang tak henti-henti nya terjadi di Sumut,” ujarnya.

Ia mengatakan pemimpin Sumut harus yang berani menyelesaikan konflik agraria- sumber daya alam di Sumut yang memberi kepastian akan penyelesaian dan pemenuhan hak-hak rakyat, dan mereview seluruh izin-izin di kawasan hutan dan memastikan pengelolaan sumber daya alam diimplementasikan secara berkeadilan dan lestari.

“Di sumut di tahun 2023, ada 18 kasus konflik agraria – SDA dengan total luas mencapai 18.141 Ha. 9 kasus di kawasan hutan dan 9 di kawasan areal penggunaan lain. Sekitar 7.000an Kepala Keluarga harus hidup dalam bayang-bayang konflik, ketidaknyamanan, dan bayang-bayang kehilangan sumber penghidupan. 16 orang kena jerat kriminalisasi,” ucapnya.

“Sementara aktor penyebabnya mendapat perlindungan khusus dari negara. Perusahaan Perkebunan milik BUMN, Institusi Kehutanan, badan usaha atau koperasi militer, hingga perusahaan swasta di bidang perkebunan sawit, hutan tanaman industri, loging, hingga Pembangunan infrastruktur,” paparnya.

BACA JUGA:   Intip Harta Mas Surya, Cawagub Pendamping Bobby Nasution di Pilkada Sumut

Selain itu, peningkatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu guna dalam rangka penguatan ekonomi hutan yang lestari belum tercapai. Luas tutupan hutan semakin berkurang, kawasan konservasi terdegradasi, dan kawasan hutan pesisir-mangrove yang semakin terhimpit ekspansi kebun-kebun kelapa sawit dan pertambakan.

“Sumatera Utara harus punya pemimpin yang tegas dan berani memperkuat penegakan hukum di sektor kehutanan, pertambangan, energi, dan sektor lingkungan hidup lainnya melalui penguatan institusi di bawah pemerintah provinsi yang bekerja secara pro-aktif dan transparan serta partisipatif yang membela kepentingan lingkungan hidup dan rakyat. Praktek penegakan hukum di sektor lingkungan hidup dan kehutanan masih jauh panggang dari api,” jelasnya.

Belum maksimalnya kinerja pemerintah provinsi beserta institusi aparat penegak hukum, telah berimplikasi pada deforestasi dan alih fungsi hutan untuk investasi.

Sejak tahun 2017, Walhi telah mendorong Pemerintah Provinsi Sumut dalam efektivitas penegakan hukum di sektor kehutanan untuk menghentikan alih fungsi hutan menjadi pertambangan, perkebunan, pertambakan, dan investasi yang tidak berkelanjutan. Namun masih jauh panggang dari api.

Di Sumut, kawasan Batang Toru merupakan kawasan ekosistem esensial yang hingga saat ini belum ada kebijakan khusus terkait tentang ini. Mengingat kawasan Hutan Batang Toru memiliki kekayan alam dan habitat spesies langka yang hanya ada di kawasan hutan ini.

“Mekanisme yang rumit dan lamban dalam tata cara pengusulan pembuatan kebijakan yang menjadi salah satu faktor mengapa hingga hari ini instrument kebijakan yang melindungi ekosistem esensial, termasuk dan pesisir-pulau kecil juga belum ada,” katanya.

Jika Sumatera Utara ingin mengembalikan fungsi lingkungan maka penguatan ekonomi yang dikembangkan kedepan harus berani keluar dari ekonomi yang rakus lahan, ruang, dan berbasis sumberdaya yang tidak terbarukan. Memperkuat ekonomi kerakyatan merupakan jalan keluarnya.

“Dengan memperkuat pengakuan, perlindungan dan pengelolaan Wilayah kelola rakyat dan hutan adat melalui ekonomi Nusantara dan pengembangan komoditas agroforestry, pertanian selaras alam yang berlandaskan kedaulatan pangan, secara mendasar hal ini akan menjawab dua krisis besar saat ini yaitu ketimpangan ekonomi dan krisis lingkungan,” tukasnya.

 

Artikel Terkait