Benarkah Tidak Boleh Menyingkat 'Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam' Menjadi 'SAW'? Begini Penjelasannya
Dalam tradisi penulisan umat Islam di Indonesia, penyebutan nama Nabi Muhammad hampir selalu disertai dengan tambahan “SAW” sebagai bentuk penghormatan. Kebiasaan ini telah mengakar kuat dalam berbagai karya tulis, mulai dari buku keagamaan hingga publikasi modern.
Selain itu, nama Allah umumnya ditulis dengan tambahan “SWT” yang merupakan singkatan dari Subhanahu wa Ta‘ala. Tradisi tersebut dipandang sebagai wujud adab dan pengagungan yang terus dipertahankan oleh masyarakat muslim di tanah air.
Namun, apakah cara menyingkat seperti ini dibenarkan dalam pandangan syariat atau ketentuan islam, atau justru dianggap bentuk pengabaian terhadap adab kepada Allah dan Rasul-Nya?
Arti Bersalawat
Ilustras. [ftnews-metaai]Dikutip situs resmi Muhammadiyah, bershalawat dan bersalam kepada Nabi Muhammad adalah perintah langsung dari Allah Swt. Dalam surah al-Ahzab ayat 56, Allah berfirman:
اِنَّ اللهَ وَمَلٰىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab [33]: 56).
Ayat ini menegaskan betapa mulianya kedudukan Rasulullah di sisi Allah dan makhluk-makhluk-Nya. Menurut tafsir ath-Thabari, shalawat dari Allah berarti limpahan rahmat dan ampunan, sedangkan shalawat dari para malaikat dan manusia berarti doa agar Nabi mendapatkan kemuliaan yang lebih tinggi.
As-Sa‘di menambahkan, ayat ini menunjukkan tingginya derajat dan kedudukan Nabi di sisi Allah dan makhluk-Nya. Maka, setiap kali kita mengucapkan shalawat, hakikatnya kita sedang menegaskan kembali penghormatan kepada Nabi dan menyambung cinta spiritual kepadanya.
Para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah bagaimana bentuk shalawat yang benar. Dalam hadis riwayat Ka‘ab bin ‘Ujrah disebutkan:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
(Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan shalawat kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, limpahkanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan berkah kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).
Hadis ini menjadi dasar utama bentuk shalawat yang sering kita baca dalam salat maupun di luar salat.
Masalah Penyingkatan dalam Tulisan
Ilustrasi. [ftnews-metaai]Dalam konteks penulisan modern, muncul kebiasaan menyingkat lafal shalawat menjadi “SAW” atau “saw.” Sebagian ulama kontemporer, seperti Syaikh ‘Abdullah bin Baz, menilai bahwa tindakan ini tidak selayaknya dilakukan.
Menurutnya, menyingkat shalawat dapat mengurangi adab terhadap Rasulullah, bahkan minimal hukumnya makruh tahrim (sangat dimakruhkan). Ia mengingatkan agar penulis Muslim menjaga kesempurnaan adab ketika menyebut nama Nabi.
Pendapat ini sejalan dengan pandangan klasik yang diutarakan oleh Ibn Shalah dalam Muqaddimah-nya. Ia menulis bahwa seorang penulis hadis hendaknya selalu menuliskan shalawat dan salam secara lengkap setiap kali menyebut nama Rasulullah. Ibn Shalah bahkan mengingatkan agar tidak menulis shalawat hanya dalam bentuk dua huruf atau simbol.
Namun, yang menarik, Ibn Shalah sendiri mengakui bahwa ketidakbolehan itu tidak berdasarkan nash syar‘i (Al-Qur’an atau hadis), melainkan bersumber dari pengalaman spiritual (manamat shalihah), yakni mimpi orang-orang saleh yang menegur agar tidak menyingkat shalawat. Dalam metodologi fikih, mimpi seperti ini tentu tidak bisa dijadikan dasar hukum yang kuat.
"Jika dilihat secara lebih menyeluruh, semangat larangan Ibn Shalah sejatinya bukan untuk mengharamkan penyingkatan, tetapi agar kaum Muslimin tidak lalai dari keutamaan bershalawat. Sebab, beliau juga mencatat adanya ulama besar seperti Imam Ahmad bin Hanbal yang tidak menuliskan shalawat di setiap penyebutan nama Nabi dalam naskah hadis. Alasannya sederhana: agar tidak disangka sebagai bagian dari matan hadis," tulis tertulis dalam keterangan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Menyingkat Nama (Shalawat) Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan Kata SAW”, Majalah Suara Muhammadiyah No 14 Tahun 2022.
Fakta ini menunjukkan bahwa penyingkatan atau bahkan penghilangan lafal shalawat dalam teks bukanlah bentuk penghinaan, melainkan pertimbangan teknis penulisan.
Dengan demikian, menulis “Nabi Muhammad SAW” tidaklah serta merta dianggap melanggar adab, selama tidak disertai niat merendahkan Rasulullah. Sebaliknya, jika penyingkatan itu dilakukan untuk memudahkan penulisan dalam konteks ilmiah atau editorial, maka hal itu masuk dalam ranah rukhsah (keringanan).
Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Kementerian Agama Republik Indonesia (edisi penyempurnaan 2019), nama Nabi Muhammad bahkan tidak lagi diikuti singkatan “SAW” Tentu bukan karena para penyusunnya menyepelekan Nabi, melainkan karena alasan teknis dan konsistensi gaya bahasa.
Dengan demikian, tulisan “SAW” pada dasarnya hanyalah tanda, bukan makna. Tulisan “SAW” tidak menghapus keutamaan shalawat, sebagaimana singkatan “SWT” tidak mengurangi keagungan Allah. Namun, jika kita memiliki waktu dan ruang untuk menulis lengkap, tentu lebih utama melakukannya.