Besok 2026, Apa Makna Pergantian Tahun Menurut Islam?
Pergantian tahun Masehi kerap disambut dengan berbagai bentuk perayaan dan euforia di tengah masyarakat, mulai dari pesta kembang api, konser musik, hingga keramaian di ruang-ruang publik. Menjelang akhir Desember ini, masyarakat pun bersiap menyongsong pergantian waktu, di mana sebentar lagi atau besok kita akan memasuki tahun 2026.
Namun dalam pandangan Islam, pergantian tahun Masehi tidak memiliki kedudukan sakral sebagaimana hari besar keagamaan yang ditetapkan dalam syariat. Meski demikian, momentum pergantian tahun tetap dapat dimaknai sebagai waktu untuk melakukan introspeksi diri dan memperbaiki kualitas ibadah serta kehidupan sosial ke depan.
Pergantian Tahun sebagai Introspeksi
Baca Juga: 10 Hal yang Dapat Membatalkan Salat, Salah Satunya Banyak Bergerak
Berdoa Umat Islam. (fFtnews- Meta Ai)Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Zia Ul Haramein menegaskan bahwa pergantian tahun Masehi bukanlah peristiwa yang memiliki nilai ibadah khusus. Oleh karena itu, umat Islam tidak dituntut untuk merayakannya secara ritualistik.
“Pergantian tahun Masehi itu bukan sesuatu yang sakral dan bukan pula sesuatu yang berdiri sendiri untuk ditunggu-tunggu,” ujar Gus Zia, sapaan akrabnya seperti dikutip situs resmi MUI.
Meski demikian, Gus Zia menjelaskan bahwa momentum pergantian tahun tetap dapat dimaknai secara positif apabila ditempatkan dalam perspektif keimanan. Perubahan waktu merupakan isyarat bahwa manusia semakin dekat dengan akhir kehidupan dan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Baca Juga: 6 Penghalang Doa Seseorang Terkabul Allah, Salah Satunya Maksiat
“Pergantian tahun adalah pertanda bahwa kita semakin dekat dengan akhirat, semakin dekat dengan kematian. Jarak antara kita dengan akhir usia semakin menipis,” jelasnya.
Dalam Islam, waktu memiliki kedudukan yang sangat penting, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-‘Asr.
وَٱلْعَصْرِ إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ
“Demi masa, sungguh, manusia dalam keadaan rugi, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.” (QS al-Ashr 1-3).
Pergantian tahun seharusnya dibaca sebagai isyarat evaluatif, bukan sekadar perayaan seremonial yang berulang setiap tahun. Muhasabah atau introspeksi diri menjadi adab utama yang dianjurkan dalam Islam ketika menghadapi pergantian waktu.
“Kita melihat kekurangan diri kita, apa yang sudah dicapai, apa yang masih banyak kealpaan dan kekhilafan, bagaimana taubat kita, serta bagaimana kualitas amal saleh kita,” katanya.
Tahun Baru sebagai Pengingat Ajal
Ilustrasi Tahun Baru [Ftnews Copilot]Gus Zia mengingatkan sabda Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa orang cerdas adalah mereka yang memperhatikan kehidupan setelah kematian, bukan hanya kesenangan dunia sesaat.
عَنْ أبي يَعْلَى شَدَّادِ بْن أَوْسٍ عن النَّبيّ ﷺ قَالَ: الكَيِّس مَنْ دَانَ نَفْسَهُ, وَعَمِلَ لِما بَعْدَ الْموْتِ, وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَه هَواهَا, وتمَنَّى عَلَى اللَّهِ
Dari Syaddad bin Aus dari Nabi SAW bersabda, ”Orang yang cerdas adalah orang yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang jiwanya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah.” (HR at-Tirmidzi).
Dengan demikian, pergantian tahun sejatinya menjadi momentum untuk memperbaiki orientasi hidup, memperkuat keimanan, dan menyusun kembali rencana amal saleh ke depan.
“Kalau pergantian tahun ini hanya diisi dengan hura-hura tanpa refleksi, maka nilai waktunya justru terbuang sia-sia,” kata dia.