Di Balik Avatar Fire and Ash, Mencuat Tudingan Terhadap AI
Sutradara legendaris James Cameron kembali mengajak penonton menyelami kedalaman planet Pandora melalui sekuel terbarunya, Avatar: Fire and Ash, yang resmi dirilis secara global pada Jumat (19/12/2025).
Meski tetap menyuguhkan kemegahan visual khas Avatar, film ketiga ini hadir di tengah pusaran perdebatan seputar etika teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), serta kritik lama terkait narasi budaya.
Melanjutkan kisah keluarga Sully dan klan Metkayina, film ini memperkenalkan faksi baru yang lebih kelam, yakni Ash People atau Penduduk Abu.
Berbeda dari dua film sebelumnya, Fire and Ash disebut membawa nuansa emosional yang lebih intens, dengan eksplorasi konflik internal yang lebih kompleks dan gelap.
Antara Ambisi dan Jenuhnya Durasi
Sejak penayangan perdananya, respons publik di jagat maya terlihat terbelah. Pantauan di berbagai platform media sosial, termasuk Reddit, menunjukkan sejumlah keluhan terkait pacing atau tempo cerita yang dinilai terlalu lambat.
Sebagian penonton merasa alur film terlalu panjang dengan banyak subplot bercabang, sehingga mengurangi fokus utama cerita dan memicu rasa jenuh.
Meski tidak sepenuhnya merepresentasikan kritik profesional, riuh rendah di media sosial ini menjadi cerminan tantangan besar bagi Cameron dalam menjaga perhatian penonton, terutama di tengah durasi film yang masif dan ekspektasi tinggi terhadap waralaba Avatar.
Avatar Fire And Ash Tayang Global
Benteng Terakhir Melawan AI
Di luar aspek teknis cerita, Fire and Ash juga menjadi panggung bagi Cameron untuk menyuarakan kegelisahannya terhadap penggunaan AI generatif di industri perfilman.
Dalam wawancara dengan Variety, Cameron menegaskan bahwa seluruh karakter dalam film ini sepenuhnya diperankan oleh aktor manusia melalui teknologi motion capture.
“Saya menghormati dan merayakan aktor manusia. AI belum mampu menggantikan emosi dan kreativitas manusia,” ujar Cameron, menegaskan komitmennya untuk tidak menggunakan AI generatif dalam proses penciptaan karakter.
Sikap ini dinilai sebagai pernyataan politik kreatif di tengah kekhawatiran global bahwa AI dapat mengancam keberlangsungan profesi pekerja seni.
Di sisi lain, penggemar Avatar juga mulai mengeluhkan maraknya konten palsu, termasuk cuplikan trailer buatan AI yang menyesatkan di internet dan dianggap merusak integritas waralaba.
Kritik Narasi dan Kelangsungan Bisnis
Meski diakui unggul secara visual, Avatar belum sepenuhnya lepas dari kritik sosiopolitik. Isu narasi white savior kembali mencuat, khususnya di kalangan komunitas adat.
Mengutip Madison365, sejumlah pihak menilai pola cerita tersebut masih membayangi semesta Avatar, sebuah diskursus yang telah muncul sejak film pertamanya dirilis.
Dari sisi bisnis, tantangan finansial juga menjadi bayang-bayang tersendiri. Biaya produksi yang sangat besar menuntut pencapaian pendapatan box office yang luar biasa demi menjamin kelangsungan sekuel-sekuel berikutnya.
Meski Disney dan studio terkait terus mendorong ekspansi waralaba ini, Cameron sendiri pernah mengakui kekhawatirannya terhadap keberlanjutan ekonomi jangka panjang dari proyek ambisius tersebut.
Kini, keputusan berada di tangan penonton. Apakah pesona visual Pandora masih cukup magis untuk menutupi kelemahan narasi dan tantangan industri yang kian kompleks? Waktu akan menjawab apakah Avatar:
Fire and Ash mampu kembali mencatatkan namanya di jajaran film terlaris sepanjang masa.