Dua Nasib Berbeda: Novi Band Sukatani Dipecat, Bu Guru Salsa Yang Video Syurnya Viral Lolos Jadi PPPK
Lifestyle

Dua sosok perempuan yang berprofesi sebagai pendidik mendadak viral karena mendapat perlakuan berbeda meski sama-sama menjadi sorotan publik.
Novi yang juga vokalis Band Sukatani dan seorang guru dipecat.
Sementara itu, Bu guru Salsa yang berprofesi seorang guru juga, justru diloloskan bahkan diangkat menjadi peserta Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) setelah video pribadinya yang disebut "syur" tersebar luas di media sosial.
Baca Juga: Bu Guru Salsa Eksis Lagi di TikTok, Video Terbarunya Sudah Ditonton 3,5 Juta Kali
Netizen menyoroti perbedaan nasib keduanya dengan mencantumkan label "DILOL0SKAN" untuk Bu guruSalsa dan "DIPECAT" untuk Bu Novi yang juga vokalis Band sukatanni.
Narasi yang diangkat mempertanyakan apakah keputusan ini mencerminkan standar ganda dalam menilai moralitas dan profesionalisme tenaga pendidik.
Publik pun mempertanyakan, apakah status sebagai vokalis band lebih "diterima" daripada menjadi korban penyebaran video pribadi yang belum tentu kesalahan Bu Salsa sendiri?
Baca Juga: Ini Akun TikTok Bu Guru Salsa, Ada 25 Video
"Satu guru amoral dipertahankan... yang satu guru kreatif dipecat... sudah nggak ada ukuran moralitas di negeri ini... free country." Kata salah satu netizen.
"Vokalis band dipecat, yang videonya tersebar malah diloloskan. Standar moral di negeri ini makin nggak jelas!"
"Harusnya yang dinilai itu kinerja dan dedikasi mereka sebagai guru, bukan kehidupan pribadinya. Kenapa yang satu dipecat, yang satu malah diterima PPPK?"
"Susah kalau kebijakan tebang pilih begini. Jadi guru nggak boleh nyanyi di band, tapi boleh punya video syur? Gimana sih?"
"Kasihan Bu Novi, padahal nyanyi itu profesi dan bakat, bukan sesuatu yang merusak moral. Malah yang kena skandal dipertahankan?"
"Kalau kasusnya begini, berarti yang penting viral dulu biar diloloskan ya? Ngeri sih cara berpikirnya."
"Negeri ini memang aneh, makin hari makin sulit memahami standar penilaian moralnya."
"Apakah ini bukti kalau kita lebih suka drama daripada keadilan? Kenapa nggak ada aturan yang jelas?"
"Sebenernya mau jadi guru harus dinilai dari kompetensinya. Masalah pribadi jangan dibawa ke ranah profesional. Tapi kenapa yang satu dipecat, yang satu nggak?"
"Ini jelas-jelas standar ganda. Kalau mau tegas, harus adil buat semua!"
"Bukan membela siapa-siapa, tapi kalau mau jujur, dua-duanya seharusnya dapat perlakuan yang sama sesuai aturan. Jangan ada yang diistimewakan atau dikorbankan.
Kasus ini membuka perdebatan lebih luas tentang keadilan di dunia pendidikan. Apakah penilaian terhadap guru seharusnya hanya berfokus pada kinerja dan dedikasi mereka di kelas, atau malah lebih banyak dipengaruhi oleh persepsi publik dan kehidupan pribadi mereka?
Publik menanti kejelasan: apakah ini memang cerminan kebijakan pendidikan yang tebang pilih, atau ada alasan lain di balik perbedaan nasib dua guru ini?