Ekonom: Kemiskinan Struktural RI Semakin Nyata
Ekonomi Bisnis

Ekonom Senior INDEF, Aviliani dalam sebuah diskusi mengungkapkan masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini banyak yang hidup dari utang. Salah satunya dari pinjaman online (online) karena banyak masyarakat yang tidak punya akses ke bank (bankable).
Menurut Aviliani, utang yang dilakukan masyarakat itu bahkan digunakan untuk kebutuhan makanan. Dalam pinjaman online ini pun banyak masyarakat yang akhirnya tidak mampu membayar utangnya.
Di sisi lain, masyarakat ini juga tidak mendapatkan bantuan tunai langsung (BLT) karena digolongkan dalam kelas menengah. Hal inilah yang membuktikan bahwa kemiskinan struktural semakin nyata terjadi di Indonesia.
Baca Juga: Ucapan Selamat Prabowo Subianto pada Hari Buruh 2024
Aviliani menjelaskan, kemiskinan struktural adalah kondisi di mana pendapatan seseorang berada di atas garis kemiskinan. Namun, relatif masih lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di sekitarnya.
“Sudah banyak kaum yang tidak kena BLT. Masalahnya, kelas menengah yang turun cukup besar karena PHK, covid dan efisiensi dengan era digitalisasi,” tutur Aviliani dalam diskusi publik INDEF yang dilaksanakan pada Selasa (22/10).
Aviliani menilai kondisi ini harus menjadi perhatian pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pasalnya, pada era Joko Widodo, walaupun ada Kartu Prakerja, dampaknya tetap tidak signifikan.
Baca Juga: Jelang Pemilu, Prabowo Kerap Dapat Narasi Negatif
“Ini kondisi yang terjadi, pemerintah harus fokus pada permasalahan ini. Ada Prakerja, tapi apakah ini sudah disesuaikan. Karena ini cukup besar uang saku dan uang programnya,” ujar Aviliani.
Ekonom Senior INDEF lainnya, Didin S Damanhuri mengatakan penurunan kelas menengah bukan karena covid-19 saja. Melainkan, karena alokasi APBN dan perbankan lebih banyak ke sektor besar, bukan UMKM.
Didin menilai, bantuan kepada masyarakat harus dikaji kembali. Hal ini untuk memastikan seluruh lapisan masyarakat yang membutuhkan bisa menerima manfaatnya.
“Supaya tidak terjadi kemiskinan struktural, maka APBN dalam alokasinya harus memberikan stimulus kepada masyarakat bawah ini,” katanya.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia, alokasi pendanaan dari perbankan untuk UMKM harusnya sebesar 99 persen. Namun, pada kenyataannya hanya terealisasi 18 persen saja. Sisanya diberikan kepada sektor atau perusahaan besar.
“Ini peluang besar, bukan hanya dari APBN tapi juga perbankan, untuk kelompok UMKM. Supaya tidak hanya APBN, tapi juga dari stimulus perbankan itu dilakukan aliran dana pihak ketiga terhadap UMKM ini,” tandasnya.