Ekonom Sebut Transfer Data WNI ke AS harus Cermat dan tidak Menyisakan Celah Risiko
Nasional

Kesepakatan transfer data antara Amerika Serikat dan Indonesia bisa mendukung perdagangan digital yang pada dasarnya bisa dikategorikan aman, namun perlu dicermati dari berbagai sisi agar implementasinya tidak menyisakan celah risiko.
“Untuk itu pentingnya pemenuhan tiga elemen utama: standar internasional, kepatuhan regulasi nasional, dan pengawasan yang efektif,” papar Ekonom Bank Permata, Josua Pardede dalam keterangannya ke InfoPublik, Minggu (27/7/2025).
Elemen yang pertama adalah Standar Internasional Jadi Pilar Teknis. Kesepakatan itu membuka jalan bagi standarisasi protokol transfer data, merujuk pada acuan global seperti GDPR (Uni Eropa) dan Cross-Border Privacy Rules (CBPR) yang diterapkan di AS dan kawasan Asia Pasifik.
Baca Juga: Soal Transfer Data WNI ke AS, Dasco Minta Komisi I DPR segera Koordinasi dengan Pemerintah
Bila kedua negara sepakat menggunakan standar itu, risiko kebocoran data dapat ditekan melalui mekanisme perlindungan dan akuntabilitas yang lebih baik.
UU Perlindungan Data Pribadi harus Jadi Landasan Hukum
Baca Juga: Akademisi Fisip Unhas: Tak Mungkin Pengelolaan Data Pribadi WNI Diserahkan Sepenuhnya pada Negara Lain
Elemen yang kedua ada Undang-Undang (UU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang jadi landasan hukum domestik. Pada tingkat nasional, Indonesia sudah memiliki UU PDP yang baru disahkan.
UU itu mengatur secara ketat pemrosesan data pribadi, termasuk persetujuan pengguna, keamanan data, serta transparansi. Kepatuhan terhadap UU PDP memberikan jaminan tambahan terhadap keamanan data dalam konteks kerja sama lintas negara.
Penegakan dan Transparansi
Elemen yang terakhir adalah Tantangan Terbesar: Penegakan dan Transparansi. Meski aturan sudah kuat, Josua menyoroti tantangan nyata di lapangan: efektivitas pengawasan dan penegakan hukum.
Banyak potensi celah muncul dari lemahnya kontrol atau praktik bisnis yang tidak transparan. Selain itu, isu kedaulatan data menjadi sorotan, seiring kekhawatiran publik bahwa data Indonesia dapat disalahgunakan oleh pihak asing untuk kepentingan ekonomi atau intelijen.
Josua juga merekomendasikan agar pemerintah Indonesia memastikan adanya klausul perjanjian yang mengatur secara tegas batas penggunaan data, pelaksanaan audit keamanan rutin, serta penerapan sanksi tegas bila terjadi pelanggaran. “Ketiga elemen tersebut dinilai sebagai syarat utama untuk menjamin transfer data yang aman dan berkelanjutan,” ucapnya.
Kesepakatan transfer data antara AS dan Indonesia memiliki potensi besar untuk mendukung perdagangan digital, namun tidak bisa hanya bergantung pada perjanjian di atas kertas. Kepatuhan penuh, perlindungan hukum, dan pengawasan konsisten akan menjadi penentu utama keberhasilan kerja sama itu.***