Inflasi Sumut Meroket Dihantam Bencana, Harga Cabai Kian Pedas
Tekanan inflasi di Sumatera Utara (Sumut) mengalami lonjakan signifikan pada Desember 2025 setelah rangkaian bencana alam melanda sejumlah wilayah di Sumatera Barat, Aceh, dan Sumut.
Dampak bencana tersebut memicu gangguan pasokan bahan pangan strategis dan mendorong inflasi bulanan (month to month) Sumut berpeluang berada di atas 0,4 persen, bahkan bisa mencapai kisaran 0,7 hingga 1 persen.
Ekonom Sumatera Utara, Gunawan Benjamin, menyebutkan bahwa tanpa adanya bencana, Sumut sejatinya berpeluang mencatatkan deflasi di penghujung tahun dalam rentang 0,1 hingga 0,17 persen.
Baca Juga: Pemilu 2024 di Puncak Musim Hujan: Mitigasi Ancaman Bencana!
“Bencana yang terjadi sejak akhir November telah mengubah arah pergerakan inflasi. Tekanan harga yang muncul saat ini sepenuhnya berasal dari sisi pasokan atau supply shock, bukan dari peningkatan permintaan,” ujar Gunawan, Selasa (29/12).
Ilustrasi bencana banjir Sumatera. [Istimewa]Menurutnya, proses pencacahan data inflasi selama Desember menjadi sangat kompleks karena tingginya volatilitas harga dan perbedaan yang mencolok antarwilayah di Sumut. Sebagai contoh, harga cabai merah pada Agustus sempat tercatat lebih rendah sekitar 7,8 persen di Kota Medan, namun di wilayah lain justru masih mengalami kenaikan dibandingkan bulan sebelumnya.
Gunawan mengungkapkan, lonjakan harga ekstrem sempat terjadi di sejumlah daerah. Kota Sibolga dan Gunungsitoli, Nias, bahkan mencatat harga cabai merah menembus Rp100 ribu hingga Rp200 ribu per kilogram. Jika dirata-ratakan secara regional, harga cabai merah masih berada pada level yang sangat tinggi.
Baca Juga: Jelang Nataru: Bupati Rejang Lebong Pimpin Rapat Penting! Harga Kebutuhan Pokok Dijamin Aman?
“Yang paling mencolok adalah cabai rawit. Rata-rata kenaikannya mencapai 130 persen. Ini dampak langsung dari terputusnya distribusi pasokan cabai rawit dari Aceh ke Sumatera Utara akibat bencana,” jelasnya.
Selain cabai, sejumlah komoditas pangan lainnya juga mengalami kenaikan harga signifikan. Harga bawang merah naik sekitar 8,6 persen, telur ayam ras meningkat 2,2 persen, dan daging ayam ras melonjak sekitar 7,2 persen. Sementara itu, harga beras terpantau naik sekitar Rp500 per kilogram, meski kenaikannya tidak terjadi secara serentak di seluruh wilayah Sumut.
“Gangguan distribusi telah memukul rantai pasok bawang merah, kenaikan harga jagung ikut mendorong biaya produksi pakan ternak, dan bencana membuat pengendalian pasokan ayam menjadi tidak optimal,” kata Gunawan.
Ia menambahkan, sejumlah fenomena yang terjadi dalam sebulan terakhir antara lain tertundanya penurunan harga cabai merah, terganggunya distribusi pangan antarwilayah, serta memburuknya kondisi logistik akibat bencana alam.
Ironisnya, inflasi berbasis pasokan ini terjadi di tengah lemahnya daya beli masyarakat. Gunawan mencatat, hasil observasi di Pasar Induk Tuntungan menunjukkan adanya penurunan omzet yang cukup signifikan.
“Artinya, masyarakat Sumut menerima dua pukulan ekonomi sekaligus. Pertama, bencana merusak aset dan menekan belanja rumah tangga. Kedua, masyarakat justru harus membayar harga yang lebih mahal akibat pasokan yang terganggu,” tegasnya.
Gunawan menilai, kondisi ini memerlukan respons cepat dari pemerintah daerah dan otoritas terkait, khususnya dalam mempercepat pemulihan distribusi, menjaga kelancaran logistik, serta memperkuat koordinasi antarwilayah agar tekanan inflasi tidak semakin membebani masyarakat di awal tahun mendatang.