Mobile Ad
Korupsi Proyek Pembangunan Pabrik Blast Furnance Naik ke Penyidikan

Kamis, 17 Mar 2022

Forumterkininews.id, Jakarta - Tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) meningkatkan kasus korupsi proyek pembangunan Pabrik Blast Furnance PT Krakatau Steel (Persero) ke tahap penyidikan.

Hal tersebut dikuatkan setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), Nomor: Print-14/F.2/Fd.2/03/2022 tanggal 16 Maret.

"Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus menaikkan perkara tindak pidana korupsi proyek pembangunan Pabrik Blast Furnace, PT Krakatau Steel menjadi penyidikan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana dalam konferensi pers daring, Rabu (16/3).

Sebelumnya, kata Ketut telah dilakukan penyelidikan dalam perkara tersebut. Dalam proses penyelidikan, tim penyidik melakukan permintaan keterangan kepada 78 orang saksi dan tiga ahli.

"Selain itu terdapat bukti lainnya berupa 150 dokumen terkait pembangunan Blast Furnace Complex PT Krakatau Steel," ujarnya.

Konstruksi Perkara Pembangunan Pabrik Blast Furnance

Sementara untuk konstruksi perkara dugaan korupsi proyek tersebut berawal pada 2011 hingga 2019, PT Krakatau Steel membangun pabrik Blast Furnance (BFC) bahan bakar batu bara. Tujuannya untuk memajukan industri baja nasional dengan biaya produksi yang lebih murah.

"Karena dengan menggunakan bahan bakar gas biaya produksi mahal," sambungnya.

Kemudian pada 31 Maret 2011 dilakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik Blast Furnace (BFC). Lelang ini dimenangkan Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering.

Sedangkan sumber pendanaan pembangunan pabrik Blast Furnace awalnya dibiayai bank ECA (Eksport Credit Agency) China. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, ECA dari China tidak menyetujui pembiayaan tersebut. Karena EBITDA (kinerja keuangan perusahaan) PT Krakatau Steel (KS) tidak memenuhi syarat.

"Selanjutnya pihak PT KS mengajukan pinjaman ke Sindikasi Bank BRI, MANDIRI, BNI, OCBC, ICBC, CIMB Bank dan LPEI," papar Ketut.

Anggaran yang disepakati dengan nilai kontrak setelah mengalami perubahan sebesar Rp6,9 triliun.

"Telah dilakukan pembayaran ke pihak pemenang lelang senilai Rp5,3 triliun. Dengan rincian Porsi Luar Negeri: Rp. 3.534.011.770.896 (Rp 3 miliar lebih) dan Porsi Lokal sebesar Rp 1.817.072.694.382 (Rp 1 miliar)," tegasnya.

Namun, kemudian pekerjaan dihentikan pada 19 Desember 2019. Padahal pekerjaan belum 100 persen selesai. Dan setelah dilakukan uji coba operasi biaya produksi lebih besar dari harga baja di pasar. Selain itu, pekerjaan hingga saat ini belum diserahterimakan dengan kondisi proyek pembangunan pabrik yang tidak dapat beroperasi alias mangkrak.

Atas dasar hal tersebut, terindikasi adanya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Jo Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Topik Terkait:

Advertisement

Advertisement