Mobile Ad
OTT KPK: Eks Wali Kota Yogyakarta Terima Suap untuk Penerbitan IMB

Sabtu, 04 Jun 2022

Forumterkininews.id, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti diduga menerima suap dari Vice President Real Estate PT Summarecon Agung Tbk, Oon Nasihono, untuk pengurusan perizinan IMB pembangunan apartemen.

KPK telah menetapkan Haryadi Suyuti sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap izin mendirikan bangunan (IMB) di Pemerintah Kota Jogjakarta.

KPK juga menetapkan Kepala Dinas Penanaman Modal Pemkot Jogjakarta, Nurwidhihartana dan Sekretaris Pribadi Wali Kota Jogja, Triyanto Budi Yuwono sebagai tersangka. Keduanya merupakan tersangka penerima suap.

"KPK melanjutkan ke tahap penyelidikan dan kemudian menemukan adanya bukti permulaan yang cukup untuk selanjutnya meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan mengumumkan tersangka," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (3/6).

Dalam konstruksi perkara, Alex menjelaskan sekitar 2019, Oon Nasihono selaku Vice President Real Estate PT SA Tbk melalui Direktur Utama PT Java Orient Property (JOP) Dandan Jaya K mengajukan izin mendirikan bangunan (IMB), yang mengatasnamakan PT JOP.

Diketahui, PT JOP merupakan anak usaha dari PT Summarecon Agung Tbk.

Pengajuan IMB tersebut  ke Dinas Penanaman Modal dan PTSP Pemkot Yogyakarta, diperlukan untuk pembangunan apartemen Royal Kedhaton yang berada di kawasan Malioboro dan termasuk dalam wilayah Cagar Budaya.

Proses permohonan izin kemudian berlanjut di tahun 2021. Untuk  memuluskan pengajuan permohonan tersebut, Oon Nasihono bersama Dandan Jaya diduga melakukan pendekatan dan komunikasi secara intens dan kesepakatan dengan Haryadi Suyuti yang saat itu menjabat Wali Kota Yogyakarta periode 2017-2022.

"Diduga ada kesepakatan antara Oon Nasiono dan Haryadi Suyuti. Antara lain Haryadi berkomitmen akan selalu
mengawal permohonan izin IMB dimaksud dengan memerintahkan Kadis PUPR untuk segera menerbitkan izin IMB dan dilengkapi dengan pemberian sejumlah uang selama proses pengurusan izin berlangsung," ucap Alex.

Padahal, dari hasil penelitian dan kajian yang dilakukan Dinas PUPR, ditemukan syarat yang tidak terpenuhi, di antaranya terdapat ketidaksesuaian dasar aturan bangunan. Khususnya terkait tinggi bangunan dan posisi derajat kemiringan bangunan dari ruas jalan.

Mengetahui adanya kendala tersebut, kata Alex, Haryadi Suyuti langsung menerbitkan surat rekomendasi yang
mengakomodir permohonan Oon Nasihono dengan menyetujui tinggi bangunan melebihi batas aturan
maksimal, sehingga IMB dapat diterbitkan.

"Selama proses penerbitan izin IMB ini, diduga terjadi penyerahan uang secara bertahap dengan nilai minimal sekitar sejumlah Rp 50 juta dari Oon Nasihono untuk Haryadi Suyuti melalui Triyanto Budi Yuwono dan juga untuk Nurwidhihartana," papar Alex.

Berkat adanya uang suap itu, pada 2022, IMB pembangunan apartemen Royal Kedhaton yang diajukan PT JOP
akhirnya terbit. Karena itu pada Kamis (2/6) kemarin, Oon Nasihono datang ke Yogyakarta untuk menemui Haryadi Suyuti di rumah dinas jabatan Wali Kota.

"Menyerahkan uang sejumlah USD 27.258 ribu yang dikemas dalam goodie bag melalui Triyanto Budi Yuwono sebagai orang kepercayaan Haryadi Suyuti dan sebagian uang tersebut juga diperuntukkan bagi Nurwidhihartana," beber Alex.

"Selain penerimaan tersebut, Haryadi Suyuti juga diduga menerima sejumlah uang dari beberapa penerbitan izin IMB lainnya dan hal ini akan dilakukan pendalaman oleh Tim Penyidik," pungkas Alex.

Oon Nusihono selaku tersangka pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sementara Haryadi, Nurwidhihartana, dan Triyanto selaku tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Topik Terkait:

Advertisement

Advertisement