Mobile Ad
Resistensi Antibiotik Bakal Jadi "Bom Waktu"

Rabu, 27 Mar 2024

FTNews - Prevalensi resistensi antibiotik disebut meningkat setiap tahun. Di tahun 2022, kematian karena infeksi yang resistensi antibiotik di dunia mencapai 1,27 juta jiwa. Perlu sosialisasi masif, agar tidak lagi ada penyalahgunaan resep dan pembelian antibiotik secara bebas di masyarakat.

Sejak penemuan antimikroba 70 tahun yang lalu, jutaan orang telah terhindar dari penyakit. Potensi antibiotik untuk mengobati atau mencegah penyakit telah menyebabkan peningkatan penggunaannya sampai pada titik di mana obat tersebut disalahgunakan.

Masyarakat peroleh obat ini tanpa resep dokter. Sering terjadi penyalahgunaan pada manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Akibatnya, muncul masalah resistensi antibiotik akibat mikroba (AMR) yang berevolusi.

Praktisi Kesehatan Masyarakat dr Ngabila Salama mengatakan, antibiotik adalah obat untuk membunuh bakteri. Obat ini tidak dapat digunakan untuk infeksi virus (penyebab 80-90 persen batuk pilek dan diare) atau pun jamur.

"Sejatinya antibiotik tidak bisa diberikan tanpa resep dokter juga karena jika tidak tepat jenis, dosis, dan kuman penyebab infeksi akan segera muncul resistensi atau kekebalan bakteri terhadap antibiotik tersebut," katanya di Jakarta, Rabu (27/3).

Dampak resistensi lanjutnya, jika orang terkena infeksi pernapasan atau pencernaan berulang, membutuhkan jenis antibiotik dengan tingkat lebih tinggi untuk membunuh bakteri.

Sampai kemungkinan terburuk semua jenis antibiotik sudah resisten (total drug resistence) terjadi.

"Coba bayangkan kalau ini terjadi pada pasien terinfeksi bakteri tuberkulosis? Seperti antibiotik golongan macrolide adalah obat tuberkulosis. Resisten obat yang sehari-hari saat ini sudah marak digunakan untuk kasus batuk pilek biasa," tuturnya.

Selain untuk mengatasi infeksi bakteri, antibiotik juga bisa diberikan untuk mencegah infeksi bakteri (profilaksis). Antibiotik profilaksis hanya boleh diberikan pada kondisi tertentu dengan pemantauan ketat dokter. Misalnya luka terbuka yang parah, daya tahan tubuh yang sangat lemah, atau sebelum operasi.

Ilustrasi pemeriksaan dan aktivitas di laboratorium. Foto: Warta Perawat

Pemeriksaan Teliti


Ngabila menuturkan, beberapa dokter kini sangat teliti melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang (baik sederhana/expert) sebelum memberikan antibiotik.

Untuk menapis kemungkinan besar apa infeksi virus itu dapat sembuh sendiri (self limiting disease) tanpa antibiotik atau obat apapun. Atau memang infeksi bakteri yang membutuhkan antibiotik.

Beberapa pemeriksaan expert dilakukan seperti swab PCR multiplex dan panel virus untuk tahu kuman spesifik penyebab infeksi. Bahkan ada pemeriksaan resistensi antibiotik pada kasus yang sulit sembuh untuk tahu sudah seberapa banyak jenis antibiotik yang resisten.

Lantas, mengapa resistensi obat (antibiotik) membahayakan?. Menurutnya, bakteri yang sudah resisten dengan berbagai macam antibiotik tersebut jika menginfeksi orang sehat, maka orang sehat tersebut pun juga sulit sembuh.

Sebab untuk membunuh bakterinya itu butuh antibiotik yang kemampuannya lebih tinggi. Buruknya lagi tidak ada lagi antibiotik yang bisa membunuhnya.

"Walaupun orang sehat tersebut jarang sakit, jarang minum obat (antibiotik) selama ini. Efek ke depan membahayakan dan katastropik," tandasnya.

Katastropik adalah penyakit yang mengancam nyawa. Membutuhkan biaya pengobatan yang besar serta proses yang lama.

Topik Terkait:

Advertisement

Advertisement