Maria Ulfah Santoso, Menteri Perempuan Pertama Indonesia yang Mengusung Hari Ibu Nasional
Sosial Budaya

Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember oleh masyarakat Indonesia ditetapkan sebagai hari nasional oleh pemerintah yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Presien Ir. Soekarno. Keputusan ini disetujui melalui Surat Keputusan Presiden RI No.316 pada 16 Desember 1959.
Akan tetapi, di balik penetapan hari Ibu tersebut, ada sosok perempuan inspiratif dengan segudang prestasi serta dedikasinya dalam memperjuangkan hak perempuan, yang kemudian menjabat sebagai Menteri Perempuan pertama di Indonesia.
Dilansir dari buku Maria Ulfah: Menteri Perempuan Pertama Indonesia, Senin (23/12), Maria Ulfah Santoso lahir di Serang 18 Agustus 1911 dari kedua orang tua yang masih keturunan priyayi Banten, R.A.A Mohammad Achmad dan R.A. Hadidjah Djajadiningrat.
Baca Juga: Hari Ibu, Momentum Mengingat Kembali Kebangkitan Kaum Perempuan Indonesia
Maria Ulfah Santoso menjadi perempuan Indonesia pertama yang berhasil menyandang gelar sarjana dari Universitas Leiden Belanda tepatnya di Fakultas Hukum.
Sementara itu, penetapan Hari Ibu sebagai hari nasional tidak lepas dari sejarah pergerakan perempuan melalui Kongres Perempuan Indonesia I yang digelar pada 22 sampai 25 Desember 1928 di Yogyakarta.
Maria Ulfah Santoso merupakan salah satu anggota aktif Kongres itu yang kemudian di daulat sebagai anggota Komisi Rancangan Peraturan Perkawinan pada Kongres Perempuan Indonesia III serta turut andil dalam ditetapkannya Hari Ibu sebagai hari nasional.
Baca Juga: Menyentuh Hati, Warga di Langkat Ramai-ramai Basuh Kaki Peringati Hari Ibu
Atas usul Istri Indonesia, Hari Ibu awalnya ditetapkan pada pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung 1938. Sedangkan tanggal 22 Desember dipilihs ebagai Hari Ibu yang juga bertepatan dengan hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia I pada 1928.
Saat itu, hari Ibu diisi dengan berbagai kegiatan seperti menjual bunga putih yang keuntungannya akan diserahkan kepada pengurus kongres sebagai dana perayaan hari Ibu. Selain itu juga mengadakan beberapa lomba yang mampu menghadirkan semangat kemajuan yang ada di dalam diri kaum perempuan.
Pasca kemerdekaan di tahun 1959, Maria Ulfah Santoso bersama beberapa tokoh Kowani (Kongres Wanita Indonesia) kemudian mengusulkan penetapan Hari Ibu tanggal 22 Desember sebagai hari nasional bukan hari libur kepada pemerintah sebagaimana Hari Sumpah Pemuda yang kemudian disahkan melalui Surat Keputusan Presiden.
Hari Ibu Nasional sendiri diharapkan bisa menjadi pengingat sejarah berdiri dan bersatunya seluruh organisasi perempuan di Indonesia sebelum kemerdekaan. Pasalnya, persamaan visi dan misi dalam mendukung kaum laki-laki mencapai tujuan persatuan nasional.
Perjuangan Maria Ulfah Santoso dalam melahirkan peraturan perkawinan dilandasi oleh harapan agar perempuan memiliki perlindungan dan persamaan hak dengan laki-laki dalam ikatan perkawinan. Selain itu, Maria Ulfah juga menuntut adanya batasan yang jelas terkait usia minimal siap nikah ditinjau dari segi kesiapan mental dan kematangan jiwa untuk mencegah terjadinya pernikahan dini.
Maria Ulfah Santoso menyampaikan pendapatnya dalam Kongres Perempuan Indonesia III mengenai pembentukan peraturan perkawinan yang tepat, menguntungkan, serta melindungi hak perempuan.
“Karena banyak di antara kita yang tidak memahami Al-Qur’an seutuhnya, dan karena banyak tafsiran yang berbeda tentang kitab suci ini, peraturan diperlukan sehingga membuat perceraian lebih sulit,” ujar Maria Ulfah Santoso saat itu.
Beberapa pergerakan Maria Ulfah Santoso dalam memperjuangkan hak perempuan dalam pernikahan di antaranya adalah membuat peraturan perkawinan bersama Komisi Rancangan Peraturan Perkawinan yang dibentuk pada Kongres Perempuan Indonesia III pada 1938.
Selain itu juga membantu banyak perempuan dalam mengatasi masalah rumah tangga melalui jalur hukum bersama Biro Konsultasi Perkawinan. Kemudian menyusun Talik-Talak, yaitu perjanjian yang harus disepakati antara suami dan istri untuk melindungi pihak perempuan dalam lembaga perkawinan.
Maria Ulfah Santoso juga berperan sebagai ahli hukum dalam Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk di bawah Kementerian Agama pada 1950 yang bertugas meninjau kembali segala peraturan perkawinan yang dianggap tidak adil terhadap perempuan.
Puncak perjuangan Maria Ulfah Santoso dan organisasi perempuan di Indonesia dalam mengupayakan hak perempuan di dalam pernikahan adalah disahkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 sebagai Undang-Undang Perkawinan yang berlaku secara nasional pada 1 Oktober 1975.
Maria Ulfah Santoso juga ditunjuk langsung oleh Sutan Sjahrir yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri, sebagai Menteri Sosial di Kabinet Sjahrir II pada 12 Maret 1946.
Beberapa alasan yang mendasari pengangkatan Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial sekaligus Menteri Perempuan pertama di Indonesia adalah ia dinilai sebagai wakil kaum perempuan di pemerintahan. Selain itu, kaum perempuan turut andil dalam perjuangan Indonesia.
KNIP juga memiliki anggota perempuan, salah satunya adalah Maria Ulfah Santoso. Selain itu, Sutan Sjahrir ingin menunjukkan pada dunia bahwa perjuangan bangsa Indonesia bukan semata untuk kemerdekaan bangsa, tetapi juga untuk kemanusiaan.
Tugas yang diemban Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial saat itu di antaranya melaksanakan proyek repatriasi tawanan perang Jepang yang masih tinggal di Indonesia khususnya wanita dan anak-anak, membantu korban perang, membantu bekas romusha zaman Jepang, mengurus buruh, serta membuka lapangan kerja agar tidak terjadi penumpukan pengangguran.
Kiprah Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial saat itu menjadi tonggak sejarah generasi penerus bangsa bahwa kaum perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki.