Peneliti BRIN: 80 Persen Dampak Bencana Dipicu Kerusakan Lingkungan
Skala kerusakan akibat banjir bandang yang melanda tiga provinsi di Sumatera tidak sepenuhnya berasal dari cuaca ekstrem. Profesor Erma Yulihastin, peneliti utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan, energi dari Siklon Senyar hanya berkontribusi sekitar 20 persen terhadap kerusakan, sementara 80 persen lainnya dipicu oleh lingkungan.
“Energi dari Siklon Senyar hanya berdampak pada 20 persen dari kerusakan yang ditimbulkan, sisanya lebih banyak disebabkan oleh perubahan lingkungan,” ujar Erma dalam diskusi publik “Risiko Cuaca Ekstrem dan Solusi Ekstrem” yang digelar secara daring, Kamis, (18/12/2025).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya 1.059 orang meninggal, 192 orang masih hilang, dan 147 rumah rusak dalam bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada akhir November lalu. Jumlah korban ini lima kali lebih besar dari jumlah korban siklon Seroja di Nusa Tenggara Timur yang terjadi pada 2021 lalu, meskipun keduanya sama-sama merupakan siklon tropis kategori 3.
Baca Juga: Soal Pemulihan Listrik Aceh, Bahlil Sebut Jaringan Induk yang Terpasang Capai 80-90 Persen
Menurut Erma, besarnya dampak bencana yang menghantam tiga provinsi itu lebih merupakan dampak dari alih fungsi lahan dan tata ruang di Sumatera. Erma mengacu pada jurnal yang diterbitkan American Meteorological Society (Matsui, Lakshmi, Small, 2005) yang menyebutkan bahwa tutupan lahan di darat berpengaruh pada pergerakan badai di laut.
“Ketika tutupan lahan masih terjaga, suhu yang dingin karena ada evaporasi, membuat pergerakan badai menjauh dari daratan,” katanya. Sebaliknya, ketika hutan ditebang, lahan menjadi terbuka dan panas, siklon yang terbentuk karena udara panas dari permukaan laut akan mendekat ke daratan.
Salah satu dampak banjir bandang di Sumatra [Foto: BNPB)Sumut dan Riau Wilayah Paling Rentan terhadap Hujan dan Angin Ekstrem
Erma memproyeksikan Sumatra menjadi wilayah dengan kerentanan terhadap perubahan iklim tertinggi di Indonesia hingga 20 tahun ke depan.
“Berdasarkan 14 model proyeksi hingga 2040, wilayah terutama di Sumatera Utara dan Riau menjadi wilayah yang paling rentan terhadap hujan dan angin ekstrem, pada periode Desember hingga Januari. Untuk itu, kesiapsiagaan dan persiapan menghadapi bencana harus diperkuat,” katanya.
Farwiza Farhan, Direktur Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) sepakat. Dia mengatakan, Aceh terus kehilangan hutan dalam sepanjang satu dekade terakhir.
Menurutnya, sebelum 2010 dan setelah tsunami, Aceh pernah mempunyai rencana tata ruang yang memetakan provinsi mencakup sensitivitas lahan hingga sebaran penduduk.
“Dari pemetaan itu, disebutkan bahwa pembukaan lahan baru akan meningkatkan risiko bencana, karena daya dukung lingkungan sudah mencapai batas maksimal,” kata dia.
Aceh Tamiang Rentan Kehilangan Banyak DAS
Ia juga merujuk pada hasil penelitian Cut Azizah (IPB, 2020) yang menyimpulkan wilayah Aceh Tamiang sangat rentan karena kehilangan banyak Daerah Aliran Sungai (DAS).
Penelitian itu mengungkapkan, kerusakan lingkungan akan berdampak pada banjir bandang di 70 persen desa di Aceh Tamiang, juga wilayah Aceh Timur dan Aceh Tenggara. “Ini sesuatu yang sudah diketahui sejak lama,” kata Farwiza.
Di Sumatra Utara, wilayah terdampak banjir yang terparah dikelilingi sejumlah industri yang ekstraktif dan eksploitatif. Peneliti Toba Initiative Delima Silalahi mengatakan, dalam situasi tersebut masyarakat kerap menjadi tumbal pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
Pemerintah Lambat dalam Penanganan Bencana
Delima mengaku kecewa dengan respon pemerintah yang lambat dalam penanganan bencana ini. Dengan tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, dia mengatakan, sangat sulit terkoneksi antar satu daerah terdampak dengan lainnya.
“Air bersih di Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan masih sulit. Banyak dari mereka yang mengungsi secara mandiri di bukit-bukit seperti di Angkola,” katanya. Selain kesulitan pendataan korban dan bantuan yang menumpuk, Delima mengatakan hujan dan banjir yang masih terjadi juga menghambat masuknya bantuan ke wilayah terdampak. “Saat ini solidaritas warga menjadi penopang di lapangan, di mana warga bantu warga agar bisa bertahan,” ujar Delima.
Perlu 30 Tahun untuk Pulihkan Aceh?
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital CELIOS mengungkapkan ironi banjir Sumatra. Hasil penelitian CELIOS mengungkapkan, desa dengan sektor tambang mempunyai dampak pencemaran lingkungan dan bencana lebih besar.
Pada 2018, satu dari dua desa yang bergantung pada sektor tambang akan berpotensi lebih besar terkena banjir dibandingkan desa yang tidak bergantung pada industri ekstraktif. Potensi banjir bagi desa yang tidak bergantung pada sektor tambang adalah satu banding empat.
Risiko bencana semakin tinggi karena kebijakan anggaran pemerintah. Huda menjelaskan, alokasi anggaran penanggulangan bencana hanya sekitar 0,03 persen dari APBN. Menurutnya, anggaran kebencanaan yang dialokasikan menurun drastis dari tahun ke tahun.
Untuk pemulihan provinsi yang terdampak bencana, Huda melihat akan sangat sulit dalam jangka waktu yang pendek. Dia melihat, dua dari tiga provinsi yakni Aceh dan Sumatera Barat masih sangat bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
“Yang saya khawatirkan adalah Aceh karena ketika ingin membangun kembali sangat bergantung dana transfer daerah. Apalagi tahun depan, dana transfer daerah dipotong,” katanya.
Anggaran pemulihan bencana sebesar Rp 51.82 triliun yang disebut pemerintah, kata Huda, belum mencakup pembangunan manusia. “Dengan politik anggaran seperti ini, butuh 30 tahun sendiri untuk memulihkan Aceh,” katanya.
Pada akhirnya, cuaca ekstrem dan aktivitas industri yang eksploitatif menjadi penyebab bencana, tetapi pertanyaannya ketika bencana terjadi seberapa siap negara melindungi rakyatnya.