Survei: Kepercayaan Terhadap Mega Influencer Turun 7%
Teknologi

Affiliate marketing atau pemasaran afiliasi kini menjadi sorotan utama dalam evolusi strategi influencer e-commerce di Asia Tenggara.
Hal ini terungkap dalam laporan terbaru bertajuk E-commerce Influencer Marketing in Southeast Asia hasil riset tahunan ketiga dari impact.com—platform kemitraan pemasaran terkemuka dunia—bersama Cube, penyedia intelijen pasar e-commerce.
Baca Juga: Biodata dan Agama Sanly Liuu, Salah Satu Peserta Multitalenta di Miss Universe Indonesia 2025
Riset ini melibatkan lebih dari 2.400 responden dari enam negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan menyoroti bagaimana brand, kreator, dan platform digital kini menulis ulang strategi dalam menghadapi ekspektasi konsumen yang semakin tinggi terhadap orisinalitas, relevansi, dan nilai.
Lanskap Pemasaran Influencer Terus Berubah
Baca Juga: Influencer Otomotif Dianiaya di Depok, Korban Diajak ke Makam
Sarwendah, salah satu mega influencer di Indonesia. (Selvianus Kopong Basar / FTNews.co.id)
Adam Furness, Managing Director APAC dari impact.com, menyebut bahwa lanskap pemasaran influencer terus berubah dan membutuhkan pendekatan baru.
"Seiring berkembangnya preferensi konsumen di Asia Tenggara, brand perlu beralih dari model influencer tradisional dan metrik yang semu, menuju kemitraan jangka panjang yang benar-benar memengaruhi perilaku pembelian," ujarnya dalam keterangan resmi kepada FTNews.co.id melalui surel, Kamis (18/7/2025).
"Strategi seperti investasi pada model afiliasi kini menjadi fondasi pertumbuhan yang berkelanjutan dan dapat diskalakan, dan tren ini semakin terlihat di seluruh kawasan," tambahnya.
Tren Baru: Otentisitas, KOS, dan Marketplace
Laporan tersebut mengungkap beberapa temuan penting yang dapat menjadi acuan brand untuk menyusun ulang strategi pemasaran influencer mereka:
Otentisitas Lebih Dicari, Kepercayaan Menurun
Kepercayaan terhadap influencer dengan jumlah pengikut besar (mega influencer) semakin menurun. Hanya 59% konsumen yang merasa terpengaruh oleh mereka, turun 7% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sebaliknya, micro dan nano influencer dinilai lebih autentik dan tetap menjaga kepercayaan publik.
Munculnya Key Opinion Seller (KOS)
Tren baru yang mengemuka adalah kemunculan KOS, atau Key Opinion Seller.
Mereka adalah kreator yang menggabungkan keahlian menjual dengan pengaruh digital. Di Thailand, misalnya, 9 dari 10 kreator TikTok teratas adalah KOS, yang mendominasi TikTok Shop.
Affiliate Marketing Menguat
Affiliate marketing semakin kuat, dengan 83% responden mengaku pernah membeli produk melalui tautan afiliasi yang dibagikan kreator.
Produk kecantikan (62%) dan fesyen (54%) menjadi dua kategori paling sering dibeli lewat jalur ini.
Marketplace Jadi Andalan Kreator
Platform seperti TikTok Shop, Shopee, dan Lazada menjadi favorit para kreator karena menawarkan komisi tinggi—mulai dari 4% hingga 13%.
Kategori kecantikan konsisten memberikan komisi tertinggi. Konsumen pun aktif menjelajah marketplace (34%) untuk menemukan produk, diikuti situs web brand (32%) dan channel influencer (31%).
Konsumen Cari Hiburan dan Edukasi
Menariknya, alasan konsumen mengikuti influencer bukan hanya untuk hiburan.
Sebanyak 77% responden mengaku menonton konten influencer demi hiburan, namun 64% juga mencari informasi dan ingin belajar hal baru dari konten yang mereka lihat.
Ini membuka peluang bagi brand untuk menggabungkan edukasi dan promosi secara kreatif.
“Penelitian tahun ini juga menegaskan pentingnya membangun koneksi dengan kreator secara otentik untuk menghasilkan dampak yang terukur,” kata Adam Furness.
Dengan pergeseran ini, impact.com dan Cube menyimpulkan bahwa kolaborasi jangka panjang berbasis performa antara brand dan kreator akan menjadi kunci kesuksesan di masa depan.