Ronald Tannur Bebas, Tim Investigasi KY Usut Dugaan Pelanggaran Kode Etik

FTNews – Komisi Yudisial (KY) angkat bicara soal vonis bebas yang diberikan kepada Gregorius Ronald Tannur yakni anak eks anggota DPR RI, Edward Tannur. Terdakwa dinilai tidak bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam kasus pembunuhan Dini Sera Afriyanti (29).

Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata mengatakan keptusan majelis hakim PN Surabaya ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Sebab jaksa penuntut umum (JPU) dalam perkara ini memberikan tuntutan 12 tahun penjara terhadap terdakwa.

“Vonis bebas terhadap terdakwa Edward Tannur yang dijatuhkan PN Surabaya menimbulkan menimbulkan tanda tanya dan kontroversi di tengah masyarakat. Padahal sebelumnya, jaksa menuntut hukuman 12 tahun pidana penjara dan membayar restitusi pada keluarga korban atau ahli waris senilai Rp 263,6 juta subsider 6 bulan,” kata Mukti, kepada wartawan, pada Kamis (25/7).

Lebih lanjut Mukti menilai bahwa vonis bebas ini mencederai keadilan. Maka dari itu KY menggunakan hak inisiatifnya untuk melakukan pemeriksaan pada kasus tersebut.

“Walau KY tidak bisa menilai suatu putusan, tetapi sangat memungkinkan bagi KY untuk menurunkan tim investigasi, serta mendalami putusan tersebut  guna melihat apakah ada dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH),” tukasnya.

Selain itu pihak Komisi Yudisial juga mempersilakan kepada masyarakat untuk melaporkan dugaan pelanggaran kode etik hakim jika ada bukti-bukti pendukung.  Hal ini agar kasus vonis bebas terhadap Gregorius Ronald Tannur dapat ditindaklanjuti sesuai prosedur berlaku.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Harli Siregar di Kejaksaan Agung RI, pada Selasa (2/7/2024) (Foto: istimewa)

Untuk diketahui, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar mengungkapkan bahwa pihaknya akan mengajukan kasasi. Hal ini lantaran majelis hakim yang memberikan vonis dinilai tidak menerapkan hukum.

“Iya, kita akan mengambil langkah hukum kasasi karena hakim tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya,” ujar Harli, kepada wartawan, pada Kamis (25/7).

BACA JUGA:   Solidaritas untuk Palestina, Prabowo-Anies Pakai Profil Semangka

Lebih lanjut Harli menyebutkan bahwa majelis hakim tingkat pertama tidak mempertimbangkan sejumlah bukti dari jaksa penuntut umum (JPU). Sebab hakim hanya melihat dari tidak adanya saksi di sekitar tempat kejadian perkara (TKP). Hal ini menyebabkan pertimbangan yang dimiliki majelis hakim sumir atau tidak melihat fakta yang ada di lapangan.

“Pertimbangan hakim yang didasarkan hanya pada tidak ada saksi sangat tidak beralasan. Karena hakim tidak secara utuh mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh JPU misalnya bukti CCTV. Semisal CCTV yang nampak telah muncul niat atau mens rea dari Ronald untuk menghabisi nyawa dari kekasihnya Dini, dengan melindas korban,” jelasnya.

Selain itu pertimbangan terdakwa Ronald dalam pengaruh alkohol saat kejadian juga seharusnya tidak menjadi alasan menggugurkan tindakan penganiayaannya. Sebab saat peristiwa melindas korban itu merupakan tindak pembunuhan.

“Artinya begini, alkohol apa bisa membuat orang meninggal? Kan harus ada dipicu dengan yang lain. Namanya orang dilindas, misalnya dia sudah minum alkohol tapi yang kita dakwaan soal melindasnya. Membunuhnya. Justru menurut kita kalau hakim hanya mempertimbangkan kematian korban itu hanya karena efek alkohol. Sangat sumir,” ungkap Harli.

Saat ini pihaknya tengah menunggu salinan putusan pengadilan atas vonis bebas terhadap terdakwa. Nantinya pihak Kejaksaaan Agung RI akan segera menyusun memori kasasi dan diajukan untuk sidang tingkat akhir di Mahkamah Agung (MA).

“Saat ini kita sedang menunggu salinan putusan pengadilan sebagai dasar penyusunan memori kasasi. Ada waktu 14 hari utk menyatakan kasasi dan 14 hari setelah itu untuk mengajukan memori kasasinya,” tukasnya.

Artikel Terkait