Wacana Naik Stupa Borobudur Rp750.000 Tuai Polemik
Forumterkininews.id, Jakarta - Wacana Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menaikkan tarif lokasi wisata candi Borobudur menjadi polemik. Sebagian masyarakat menolak wacana tersebut. Namun sebagian lagi mendukung dengan berbagai alasan.
Direktur Utama Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko (Persero) Edy Setijono mendukung wacana menaikan harga tiket menjadi Rp750.000 per orang. Namun menurutnya yang harus dipahami masyarakat adalah kategorinya.
Edy menjelaskan tiket seharga Rp750.000 per orang bagi turis lokal hanya untuk menaiki Candi Borobudur. Sementara harga tiket masuk kawasan candi masih tetap Rp50 ribu per orang untuk wisatawan nusantara.
Baca Juga: Tegas! Jokowi Minta Tidak Ada Lagi Politisasi Agama di Pemilu
"Sementara itu, itu kan tiket untuk naik ke candi. Tiket regulernya masih tetap sama untuk wisnus Rp50 ribu, untuk wisman 25 dolar. Hanya tiket untuk ini berlaku cuma sampai pelataran candi saja," kata Edy.
Untuk Pelajar, Naik ke Stupa Borobudur Tetap Rp5.000
Edy mengatakan, keputusan harga tiket menaiki bangunan candi sebesar Rp750.000 ditetapkan melalui rapat koordinasi dengan pemerintah pusat. Dia menjelaskan alasan ditetapkannya harga tiket tersebut dikarenakan adanya sistem kuota per hari. Pemerintah menetapkan kuota 1.200 orang per hari.
Baca Juga: Waspada Para Pengguna Jasa Joki! 3 "Penyakit" Ini akan Menghampiri
Edy menjelaskan penetapan harga naik ke candi atas dasar pertimbangan kuota 1.200 orang per hari dimaksudkan agar pengunjung yang ingin menaiki candi harus orang yang bersungguh-sungguh dan berkepentingan.
"Artinya orang yang mau naik ke candi harus betul-betul orang yang berkepentingan naik ke candi. Kalau orang mau foto-foto nggak usah naik ke candi. Di bawah saja. Jadi itulah tujuannya. Jadi orang naik ke candi karena dia sudah membayar mahal, saya kira dia akan sungguh-sungguh, dia akan belajar, dia akan mempelajari. Tapi kalau cuma foto-foto rugi kan bayar Rp750 ribu, di bawah saja. Karena ada aspek konservasi tadi," katanya.
Pihak pengelola sudah menyiapkan pemandu wisata atau tour guide di atas candi yang akan menjelaskan mengenai sejarah candi yang dibangun sejak tahun 770 masehi tersebut, dan menerangkan mengenai relief di tiap dinding candi.
Edy menekankan penetapan harga Rp750 ribu bagi wisatawan lokal yang ingin menaiki candi bukan dikarenakan lantaran hal komersial. Pengelola memberikan akses khusus bagi pelajar yang ingin mempelajari Candi Borobudur dengan penetapan tarif Rp5.000 saja per siswa untuk naik ke atas candi.
"Sebagai wujud keberpihakan kita pada dunia pendidikan, maka untuk pelajar hanya ditetapkan Rp5.000 . Inilah jawaban kenapa kok mahal, seolah-olah jadi komersial. Tidak, bukan komersial, alasannya beda-beda. Oleh karenanya untuk pelajar hanya Rp5.000," kata Edy.
Akses khusus kepada pelajar ini akan diberikan sebanyak 20 hingga 25 persen dari total kuota 1.200 orang per hari.
Dinilai akan Rugikan Warga Pedagang Sekitar
Sementara itu Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Putu Supadma Rudana menilai kenaikan harga tiket masuk ke Candi Borobudur saat ini belum tepat.
"Kenaikan tiket Borobudur saat ini belum tepat, karena daya beli masyarakat masih rendah di fase endemi ini," kata Putu dalam keterangannya, Minggu (5/6).
Putu yang juga Ketua Asosiasi Museum Indonesia ini menyampaikan pemerintah semestinya mengkaji kembali keputusan tersebut. Menurutnya, hal ini hanya akan memberikan kerugian bagi masyarakat di kawasan wisata Candi Borobudur.
"Jangan sampai kenaikan tiket ini justru memberi dampak kerugian kepada masyarakat sekitar yang bergantung kehidupannya kepada kunjungan wisatawan khususnya para pelaku UMKM," ujarnya.
Sementara itu, Anggota DPR dari Fraksi Gerindra Fadli Zon menyindir Luhut yang kerap dipercaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengurus sejumlah masalah di Indonesia.
"Yang perlu diurus tak diurus. Yang tak perlu diurus malah diurus, bikin urusan baru. #Menkosaurus," kata Fadli melalui akun Twitternya (@fadlizon), Minggu (5/6).
Sejumlah warganet juga mengkritik rencana Luhut ini. Salah satunya bahkan menyebut tarif yang dipatok itu hampir setara dengan upah minimum regional (UMR) Yogyakarta.