Dulu, Ahok ‘Out’ dari Gerindra Gara-gara Usulan Pilkada Dipilih DPRD, Sekarang Prabowo ‘Hidupkan’ Lagi Wacana Itu
Nasional

Wacana Pilkada oleh DPRD atau kembali ke format lama sebelum pemilihan langsung oleh rakyat, yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto pada acara HUT Golkar, menjadi sorotan. Salah satu yang ikut mengomentari adalah Adi Prayitno, pengamat yang juga Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI).
Menurutnya, Pilkada oleh DPRD sama saja dengan kemunduran demokrasi di Indonesia. Jika masalahnya adalah karena penyelenggaraan Pilkada berbiaya tinggi atau mahal maka yang harus dilakukan adalah mengevaluasi partai politik. Namun bukan dengan cara mengembalikan ke pemilihan sebelumnya yakni dipilih DPRD.
Bicara wacana Pilkada dipilih DPRD, itu sudah ada sejak belasan tahun lalu. Selalu ‘timbul tenggelam’ lantaran banyak pihak yang menentangnya. Setidaknya tahun 2014, wacana ini muncul disuarakan oleh Gerindra yang menjadi ‘Ketua Koalisi Merah Putih’ yang anggotanya kala itu,Gerindra, PAN,PPP, PKS,PBB dan Golkar serta kadang-kadang Partai Demokrat.
Baca Juga: Pemerintah Akan Naikkan Gaji Guru Pada 2025, Berapa Anggaran yang Dibutuhkan?
Gara-gara wacana tersebut, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gubernur Jakarta, yang kala itu merupakan kader Gerindra, menentang keras partainya. Bahkan Ahok akhirnya memutuskan keluar dari Gerindra. Ahok dikecam keras, disebut sebagai ‘penghianat’ tapi tidak perduli.
Padahal Ahok maju sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Joko Widodo, atas usungan partainya, Gerindra. Maka tak heran kalau Gerindra, kala itu, jengkel luar biasa pada Ahok yang tidak membela wacana yang dikembangkan partainya.
Sekadar mengingatkan, tahun 2014 itu, memang situasi politik cukup ‘suam-suam kuku’. Apalagi kemudian Jokowi berhasil memenangan kontestasi Pilpres melawan Prabowo.
Baca Juga: Kontroversi Dijemput Pesawat RI-1 ke Bengkulu, Asisten Pribadi Prabowo Minta Maaf ke Masyarakat
Ahok sendiri pada masa itu sangat dekat dengan Jokowi yang bersama Jusuf Kalla (Wakil Presiden kala itu) serta koalisinya mendukung Pilkada dipilih langsung oleh rakyat. Belakangan PKS yang berada di koalisi Merah Putih ‘menyeberang’ ke Koalisi Jokowi karena menginginkan Pilkada langsung, tidak melalui DPRD.
Pembahasan RUU Pilkada tahun 2014 terkait Pilkada oleh DPRD akhirnya tidak jadi dilanjutnya. Tahun 2018, wacana itu kembali muncul, lantaran banyak kepala daerah yang ditangkap KPK.
Fadli Zon, Wakil Ketum Partai Gerindra kala itu menyebut, partainya sudah lama melakukan riset tentang permasalahan ini. Gerindra termasuk yang dari dulu mengharapkan pilkada dipilih oleh DPRD.
“Dulu kan kalau enggak salah Ahok keluar dari Gerindra gara-gara soal itu, karena Gerindra kan berposisi mendukung pilkada yang dipilih oleh DPRD, terus dia keluar dan tidak setuju," lanjutnya, 10 April 2018.
Fadli memastikan dengan sistem pemilihan secara tak langsung (via DPRD) bisa membuat pilkada jauh lebih efisien dan menghemat biaya politik. Namun, ia menyadari bahwa potensi korupsi juga tetap ada meski tidak dengan jumlah yang besar.
Kenapa Ahok tidak Setuju Pilkada via DPRD
Ahok, kala itu, menilai, Pilkada lewat DPRD rawan kecurangan. Kepala daerah terpilih juga rawan diperas oleh DPRD.
“Ini main politik, rakyat dicuekin, dan tetap mahal. Kepala daerah juga bisa diperas. Kita tiap tahun bisa diperas oleh DPRD loh. Kalau kamu nggak mau, saya tolak laporan Anda. Anda dipecat. Jadi nanti kerjanya kepala daerah itu men-service DPRD saja, nggak ngurusin rakyat," papar Ahok, dikutip dari Detik.com, 9 September 2014.
Ahok juga mengatakan Pilkada lewat DPRD menyebabkan ongkos politik lebih mahal. Dia mencontohkan pemilihan bupati yang dimenangkan adiknya di Belitung Timur.
"Seseorang calon lebih banyak habiskan uang kepada parpol. Misalnya contoh, waktu saya jadi bupati, saya hanya habiskan uang sekitar Rp 500 juta, itu pun sudah untuk makan dan segala macam. Adik saya, yang lewat parpol, lebih mahal jatuhnya," tuturnya.***