Etika Pejabat Dipertanyakan: Oknum DPRK Ambil Bantuan Logistik Tanpa Prosedur
Penanganan banjir di Aceh Utara kembali diwarnai polemik setelah muncul dugaan bahwa sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara mengambil bantuan logistik dari posko utama Pendopo Bupati secara sepihak.
Aksi tersebut disebut dilakukan tanpa koordinasi dengan pengelola posko maupun tim distribusi, sehingga memicu protes keras dari masyarakat.
Baca Juga: Wabup Pidie Jaya Viral Pukul SPPG: Segini Total Hartanya
Kronologi dan Dampak Kekacauan Distribusi Bantuan
Bantuan yang disimpan di pendopo merupakan logistik utama yang diprioritaskan untuk warga di kawasan terdampak banjir paling parah.
Namun, laporan menyebutkan bahwa beberapa anggota dewan datang menggunakan mobil bak terbuka dan langsung memindahkan sejumlah paket bantuan ke kendaraan masing-masing.
Tindakan itu dinilai menyalahi prosedur distribusi karena bantuan seharusnya disalurkan melalui pendataan resmi agar tidak terjadi tumpang tindih.
Insiden ini menimbulkan kekacauan dalam pendistribusian bantuan. Beberapa titik pengungsian dilaporkan belum menerima suplai logistik secara memadai, sementara wilayah lain yang tidak masuk kategori prioritas justru menerima barang bantuan lebih cepat.
Masyarakat mempertanyakan standar distribusi yang digunakan, terutama setelah muncul dugaan bahwa bantuan dibawa ke daerah pemilihan masing-masing anggota dewan.
Situasi ini memperburuk kondisi di tengah penanganan banjir yang masih berlangsung. Ribuan warga masih berada di tempat pengungsian dan sangat bergantung pada bantuan bahan makanan, pakaian layak, obat-obatan, hingga keperluan bayi.
Polemik Bantuan Banjir Aceh Utara Usai Anggota Dewan Main Serobot
Kecaman dan Desakan Audit Penyaluran Bantuan
Aksi yang diduga dilakukan anggota legislatif ini menuai kecaman karena dianggap mencoreng etika pejabat publik.
Di saat masyarakat sedang menghadapi bencana, tindakan mengambil bantuan tanpa mekanisme resmi dipandang sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan, apalagi jika bantuan tersebut kemudian dijadikan instrumen pencitraan politik.
Pengamat kebencanaan menilai bahwa distribusi bantuan harus dilakukan dengan sistem terpusat agar terukur dan tepat sasaran.
Pengambilan bantuan secara sepihak berpotensi menimbulkan ketidakadilan, tumpang tindih, dan memperlambat pemenuhan kebutuhan warga yang paling membutuhkan.
Kasus ini memunculkan desakan agar pemerintah daerah melakukan audit menyeluruh terhadap alur distribusi bantuan banjir.
Masyarakat menuntut transparansi mengenai stok bantuan, alokasi distribusi per kecamatan, serta pihak-pihak yang terlibat dalam penyaluran.
Selain itu, sejumlah pihak mendorong agar posko bantuan memperketat pengawasan masuk-keluar logistik untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
Di tengah situasi darurat, ketegasan prosedur dianggap penting demi menjaga keadilan bagi korban bencana.
Sementara itu, hingga kini banjir di Aceh Utara masih menyisakan dampak besar.
Air belum sepenuhnya surut di sejumlah lokasi, dan banyak pengungsi masih bertahan di pos penampungan.
Kondisi ini membuat bantuan logistik menjadi sangat vital, sehingga dugaan pengambilan sepihak oleh pejabat publik semakin memicu sentimen negatif.
Masyarakat berharap agar penyaluran bantuan ke depan dilakukan lebih disiplin dan bertanggung jawab, terutama karena situasi bencana membutuhkan kepedulian dan integritas penuh dari seluruh pihak.