Nasional

Hadirnya Dimas Kanjeng: Mengapa Mistik Begitu Kuat?

30 Oktober 2025 | 19:54 WIB
Hadirnya Dimas Kanjeng: Mengapa Mistik Begitu Kuat?
dimas kanjeng

Sosok Dimas Kanjeng Taat Pribadi, yang sempat mengguncang publik lewat kasus penggandaan uang beberapa tahun lalu, kini kembali menjadi perbincangan. Ia diketahui telah bebas bersyarat sejak April 2025. Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, pria yang pernah divonis 21 tahun penjara itu kembali ke padepokan miliknya di Probolinggo, Jawa Timur.

rb-1

Kembalinya Dimas Kanjeng ke padepokan menandai babak baru dalam kisah panjang perjalanannya. Setelah bertahun-tahun menjadi pesakitan akibat penipuan dan kasus pembunuhan terhadap dua pengikutnya, kini ia kembali aktif memimpin kegiatan di lingkungan padepokan. Aktivitas keagamaan, sosial, dan kemasyarakatan disebut mulai bergulir kembali di tempat tersebut.

Baca Juga: Anggota DPR RI Fraksi Nasdem Diperiksa KPK Terkait Bupati Probolinggo

rb-3

Namun, di tengah langkah baru ini, publik masih menyimpan pertanyaan besar: Mengapa sosok seperti Dimas Kanjeng pernah begitu dipercaya oleh ribuan orang di seluruh Indonesia?

Jalan Alternatif: Klenik Sebagai Simbol Harapan di Tengah Kesulitan

Fenomena kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal mistik, spiritual, atau klenik bukanlah hal baru di Indonesia. Dalam kebudayaan bangsa, unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib telah hidup berabad-abad lamanya. Tradisi ini berpadu dengan sistem kepercayaan lokal, ajaran agama, serta nilai-nilai turun-temurun yang sulit terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Viral! Polisi Hentikan Begal Motor, Tersebar di Media Sosial

Dalam konteks sosial, klenik sering dianggap sebagai “jalan alternatif” bagi mereka yang menghadapi kesulitan hidup. Ketika ekonomi tidak menentu, pendidikan terbatas, dan harapan terhadap sistem formal menurun, sebagian masyarakat mencari solusi dari hal-hal yang dianggap “lebih tinggi” atau “gaib.” Inilah yang membuat figur seperti Dimas Kanjeng mudah diterima, karena ia tampil bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai simbol harapan akan perubahan nasib dan kekayaan instan.

Fenomena ini juga berkaitan erat dengan faktor psikologis masyarakat. Dalam situasi penuh ketidakpastian, manusia cenderung mencari pegangan emosional dan spiritual. Figur karismatik seperti Dimas Kanjeng sering kali mampu mengisi ruang kosong itu dengan menawarkan keyakinan, rasa aman, dan janji keberhasilan instan yang sayangnya tidak logis.

Selain itu, rendahnya literasi finansial dan pemahaman hukum juga membuat sebagian orang mudah terjerat janji-janji manis. Dalam banyak kasus, masyarakat lebih memilih mempercayai “jalan spiritual cepat” ketimbang upaya rasional yang memerlukan waktu dan kerja keras.

Rasionalitas vs Spiritualitas: Dilema Kebudayaan Modern Indonesia

Kisah Dimas Kanjeng mencerminkan dilema besar dalam masyarakat modern Indonesia: bagaimana menempatkan spiritualitas tanpa kehilangan rasionalitas. Di satu sisi, nilai-nilai spiritual adalah bagian penting dari kebudayaan bangsa. Namun di sisi lain, kepercayaan yang berlebihan tanpa dasar logika dapat menjerumuskan banyak orang pada kerugian, baik material maupun moral.

Kasus Penipuan Penggandaan UangKasus Penipuan Penggandaan Uang

Kasus Dimas Kanjeng seharusnya menjadi refleksi kolektif bahwa kepercayaan terhadap hal-hal gaib harus diimbangi dengan nalar dan pemahaman ilmiah. Modernitas dan pendidikan perlu menjadi benteng agar masyarakat tidak mudah tergoda oleh janji kekayaan atau kesuksesan yang tidak masuk akal.

Kini, setelah bebas bersyarat, Dimas Kanjeng disebut mulai menata kembali aktivitas di padepokannya, berfokus pada kegiatan sosial dan keagamaan tanpa lagi menyinggung praktik supranatural. Publik tetap menaruh perhatian besar pada setiap langkahnya.

Kisah ini sekaligus membuka kembali perbincangan tentang betapa kuatnya pengaruh kepercayaan terhadap klenik di Indonesia, sebuah cermin budaya yang terus hidup di tengah arus modernisasi.

Tag Probolinggo DimasKanjeng BebasBersyarat KlenikIndonesia Mistik FenomenaSosial PenggandaanUang TaatPribadi MasyarakatIndonesia Refleksi