Hoaks Bertebaran di Medsos Terkait KUHAP Baru Termasuk Soal Penyadapan, Ini Kata Safaruddin
Simpang siur berita terkait penyadapan dan kewenangannya semakin berkembang di media sosial. Hal ini perlu segera diluruskan, setidaknya oleh DPR atau Komisi III yang berkaitan langsung dengan KUHAP yang baru saja disahkan. Salah satu yang ramai dibahas di medsos soal penyadapan.
Anggota Komisi III DPR RI Safaruddin menegaskan bahwa informasi yang beredar di publik terkait kewenangan penyadapan, penahanan, maupun penyitaan tanpa izin hakim di RUU KUHAP adalah tidak benar. Ia menyampaikan hal tersebut untuk meluruskan kekeliruan percakapan yang berkembang di dunia maya, khususnya menyangkut proses penegakan hukum.
“Pembahasan tentang penyadapan itu belum masuk dalam materi UU (KUHAP) ini. Itu akan dibahas dalam undang-undang tersendiri. Jadi kalau ada yang menyatakan seolah-olah penyadapan tanpa izin hakim bisa dilakukan, itu tidak benar,” ujar Safaruddin sebelum mengikuti Rapat Paripurna Ke-9 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (25/11/25), dilansir laman resmi DPR RI.
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini menekankan bahwa seluruh tindakan paksa, termasuk penyitaan atau tindakan hukum lainnya, tetap harus mendapatkan izin dari hakim, sesuai ketentuan KUHAP. Ia mendorong publik untuk merujuk langsung pada regulasi yang berlaku guna menghindari kesimpangsiuran informasi.
“Silakan buka KUHAP. Di sana sangat jelas bahwa tindakan seperti penyitaan dan seterusnya tetap harus melalui izin hakim,” ucapnya. Hoaks Marak di Medsos
Diketahui, terdapat beberapa hoaks yang menyebar terkait muatan substansi UU KUHAP yang baru saja disahkan. Hoaks pertama yang beredar, menyebut KUHAP baru memungkinkan polisi melakukan penyadapan secara diam-diam tanpa izin pengadilan. Habiburokhman menegaskan hal itu tidak benar.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman berdalih dalam Pasal 135 ayat (2) KUHAP baru justru tidak mengatur mekanisme penyadapan sama sekali. Pengaturan penyadapan akan dimuat dalam undang-undang khusus yang prosesnya akan dibahas setelah pengesahan KUHAP. Pengaturan penyadapan, penyitaan gawai, hingga penahanan diklaim lebih ketat dan wajib melalui izin pengadilan.
Tak Ingin Buru-Buru Bahas RUU Penyadapan
Di bagian lain, Safaruddin juga menyampaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyadapan harus dilakukan secara berimbang dengan mempertimbangkan hak korban, aparat penegak hukum, hingga advokat.
Hal tersebut disampaikan merespons banyaknya aspirasi masyarakat mengenai Penyadapan sebagai salah satu materi dalam UU KUHAP yang baru disahkan.
Ditegaskannya, UU KUHAP baru tidak mengatur secara khusus soal penyadapan karena akan diatur dalam RUU terpisah. Safaruddin menilai isu penyadapan sangat sensitif karena berkaitan langsung dengan hak asasi manusia dan privasi warga negara.
“Kita tidak mau terlalu terburu-buru itu tentang (RUU) Penyadapan karena ini kan suatu hal yang sangat sensitif, suatu hal yang kaitannya dengan hak-hak asasi manusia, dan hak-hak orang sehingga kita akan lebih hati-hati,” tegasnya, dikutip dari laman DPR. Tahap Menjaring Masukan
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan tersebut menjelaskan bahwa Komisi III saat ini baru berada pada tahap menjaring masukan dari berbagai pihak. Ia memastikan pembahasan resmi RUU Penyadapan belum dimulai karena DPR masih mengonsolidasikan perspektif dan kebutuhan dari seluruh pemangku kepentingan.
Lebih jauh, terkait substansi yang akan diatur dalam RUU tersebut, Safaruddin menyebut masih terlalu dini untuk diputuskan. Namun, ia menekankan bahwa mekanisme kontrol dan pengawasan harus menjadi elemen penting agar penyadapan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.
“Di dalam penyadapan itu kan harus ada kontrol, ada pengawasan, harus ada audit, supaya tidak segampang itu untuk menyadap. Karena di situ ada hak-hak orang lain, ada hak masyarakat yang harus kita jaga,” ujarnya.