Indonesia Sulit Capai Target Penurunan Emisi Karbon, Ini Penyebabnya

Kenaikan emisi mengakibatkan bumi memanas dan krisis iklim akan semakin parah. Karena itu, JustCOP mendorong agar pemerintah segera meningkatkan target komitmen penurunan emisi Indonesia melalui Second Nationally Determined Contribution (SNDC).
Indonesia Lampaui Tenggat Penyerahan Dokumen SNDC
Menjelang konferensi para pihak untuk perubahan iklim (COP 30) yang akan berlangsung pertengahan November 2025 kelak, sampai pertengahan Oktober saat ini Indonesia belum juga menyerahkan dokumen SNDC. Tenggat penyerahan telah terlewati, yakni bulan September 2025 yang lalu.
Namun, Tri Purnajaya, Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri optimis Indonesia akan segera menyerahkan dokumen tersebut.
Ia mengingatkan agar publik harus realistis karena Indonesia masih terus menggenjot pertumbuhan ekonomi.
“Komitmen Indonesia harus diselaraskan dengan target pembangunan 8%. Kita bukan satu-satunya yang belum menyerahkan dokumen SNDC, baru setengah (dari negara-negara yang menyepakati Perjanjian Paris) yang menyerahkan,” katanya.
Kebijakan harus Berpihak pada Masyarakat
Dalam diskusi itu, Torry Kuswardono menekankan kebijakan iklim wajib berpihak pada masyarakat. Mitigasi yang dilakukan pemerintah tidak seharusnya menyebabkan pelemahan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim.
Pemerintah semestinya melindungi hak atas tanah melalui pengakuan tanah adat dan reforma agraria sebagai fondasi ketahanan iklim komunitas.
Juga perlindungan sosial adaptif bagi subjek rentan seperti warga disabilitas, buruh, dan pekerja informal. “Sepuluh tahun terakhir pada tingkatan akar rumput terjadi pelemahan dalam adaptasi masyarakat menghadapi perubahan iklim,” kata Torry yang juga Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.
Ia mencontohkan hilirisasi nikel di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah justru menjadi perebutan tanah, memicu konflik agraria, dan berdampak pencemaran pada masyarakat sekitar. “Perlindungan terhadap kelompok rentan tidak terlihat dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia,” katanya.
Torry juga menyoroti persoalan kurangnya partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan Indonesia. “Ada mekanisme-mekanisme yang tidak cukup transparan. Kalau pun ada partisipasi, itu tokenisme, alias partisipasi semu. Prosesnya kita tidak tahu. Hari ini diumumkan akan ada partisipasi publik, besoknya sudah ketok palu kebijakan disahkan,” katanya.
Torry juga mengimbau pemerintah lebih fokus pada kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim untuk proyek-proyek yang lebih kecil tetapi masif dan inklusif, bukan proyek-proyek besar terpusat.
“Komunitas lokal lebih tahu apa yang menjadi kebutuhan mereka. Bukan pelepasan lahan untuk proyek ketahanan pangan dengan membabat hutan, yang seharusnya dijaga karena kekayaan biodiversitasnya,” kata Torry.