Kampung Sawah Bekasi, Saat Masjid dan Gereja Berdiri Berdampingan
Di tengah pesatnya pembangunan Kota Bekasi, terdapat sebuah kawasan yang tetap menjadi oase kerukunan dan kedamaian. Kampung Sawah, wilayah yang kini telah berkembang menjadi area perkotaan modern, masih teguh menjaga identitasnya sebagai potret nyata harmoni multikultural di Indonesia.
Kerukunan di Kampung Sawah bukan sekadar narasi simbolik. Kehidupan toleransi antarumat beragama tercermin jelas dalam tata ruang wilayahnya yang unik, hingga kawasan ini dikenal dengan sebutan “Segitiga Emas”.
Segitiga Emas Kampung Sawah, Tiga Rumah Ibadah Berdampingan
Julukan Segitiga Emas di Kampung Sawah bukan merujuk pada pusat ekonomi atau bisnis. Istilah ini menggambarkan keberadaan tiga rumah ibadah utama yang berdiri saling berdekatan dan membentuk pola segitiga.
Ketiga rumah ibadah tersebut adalah Masjid Agung Al-Jauhar Yasfi, Gereja Katolik Santo Servatius, dan Gereja Kristen Pasundan. Kedekatan fisik ketiganya menjadi simbol kuat bahwa perbedaan keyakinan tidak menjadi penghalang bagi masyarakat untuk hidup rukun dan berdampingan.
Bagi warga Kampung Sawah, keberadaan tiga rumah ibadah dalam satu kawasan justru mempertegas nilai saling menghormati yang telah mengakar sejak lama.
Dari Hamparan Sawah hingga Warisan Budaya Betawi
Betawi Di Kampung Sawah (Senibudayabetawi.com)
Sesuai dengan namanya, Kampung Sawah dahulu merupakan kawasan persawahan yang luas. Meski kini sawah telah berganti permukiman padat dan bangunan modern, nilai-nilai budaya dan sejarahnya tetap terjaga.
Secara etnis, masyarakat Kampung Sawah merupakan bagian dari Suku Betawi. Namun, mereka memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dari Betawi Tengah maupun Betawi Pinggir.
Sejarah mencatat, akar budaya Kampung Sawah sudah ada sejak abad ke-10, dengan pengaruh ajaran Buhun dan Kekristenan yang cukup kuat di masa lampau.
Keunikan lainnya, identitas Betawi di Kampung Sawah melampaui batas agama. Warga Muslim, Katolik, maupun Kristen tetap bangga mengenakan atribut budaya Betawi seperti baju koko, peci, dan sarung, baik dalam keseharian maupun kegiatan keagamaan.
Bagi mereka, busana tradisional adalah simbol budaya pemersatu, bukan pembeda identitas iman.
Toleransi yang Terjaga Lewat Tradisi dan Aksi Nyata
Nilai toleransi di Kampung Sawah tidak berhenti pada wacana. Ia hidup dalam praktik sehari-hari yang diwariskan secara turun-temurun.
Saat perayaan Natal, para pemuda Muslim kerap terlibat membantu menjaga keamanan dan kelancaran ibadah di gereja. Sebaliknya, ketika Idulfitri, suasana persaudaraan terasa hangat dengan keterlibatan seluruh warga tanpa memandang latar belakang agama.
Tradisi Bebaritan atau Sedekah Bumi, ritual adat Betawi sebagai ungkapan syukur atas hasil alam, juga masih dilestarikan. Menariknya, tradisi ini bahkan diintegrasikan dalam kegiatan di Paroki Santo Servatius, menunjukkan harmonisasi yang alami antara iman dan budaya lokal.
Gereja Santo Servatius, Identitas Betawi yang Tetap Terjaga
Salah satu ikon penting Kampung Sawah adalah Gereja Katolik Santo Servatius. Gereja ini dikenal sebagai paroki dengan nuansa Betawi yang kental. Dalam kehidupan jemaat sehari-hari, bahasa dan kosakata Betawi kerap digunakan sebagai bentuk pelestarian budaya.
Keberadaan gereja ini menjadi bukti bahwa seseorang dapat menjadi penganut Katolik yang taat sekaligus tetap memegang erat identitas budaya Betawi.
Harmoni yang Bertahan di Tengah Modernisasi
Kampung Sawah menjadi pengingat bahwa modernitas tidak harus menghapus sejarah dan jati diri. Di saat Bekasi terus tumbuh menjadi kota metropolitan, kawasan ini tetap berdiri sebagai destinasi wisata religi dan budaya yang mempraktikkan nilai Bhinneka Tunggal Ika secara nyata.
Bagi siapa pun yang ingin menyaksikan harmoni dalam kehidupan sehari-hari, Kampung Sawah menawarkan pelajaran berharga: bahwa perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan dirawat sebagai kekayaan bersama.