Kejahatan Scam Marak, Operator Diminta Bangun Sistem Deteksi dan Cegah Penipuan secara Otomatis
Kejahatan scam (tipuan) memanfaatkan celah jaringan telekomunikasi makin merajalela bahkan dengan modus yang berkembang semakin cepat. Baik dengan pola spoofing, masking, penyalahgunaan identitas pelanggan, dan lain-lain.
Apa yang harus dilakukan? Bagaimana peran pemerintah dalam menangani hal ini?
Direktur Jenderal Ekosistem Digital Kementerian Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, menilai kondisi tersebut membutuhkan penguatan aturan teknis agar masyarakat tetap aman dalam menggunakan layanan telekomunikasi.
“Saat ini, isu yang paling sering muncul adalah mengenai scam call atau panggilan penipuan. Penipuan ini terjadi melalui telepon, SMS, messenger service, surat elektronik, dan berbagai saluran lain. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat mencegah hal ini?” ungkap Edwin Hidayat dalam kegiatan Ngopi Bareng di Kantor Kementerian Komdigi, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Modus Penyamaran Nomor
Edwin menjelaskan bahwa pelaku memanfaatkan teknik penyamaran nomor yang semakin canggih. Karena itu, pemerintah akan meminta operator telekomunikasi membangun sistem anti-scam dengan memanfaatkan teknologi, termasuk kecerdasan artifisial (AI), untuk mendeteksi dan mencegah panggilan penipuan secara otomatis.
Sistem tersebut dirancang untuk menghentikan panggilan palsu yang mengatasnamakan lembaga resmi maupun perseorangan sebelum menjangkau pengguna.
“Operator harus melindungi pelanggan mereka. Mereka diminta membangun infrastruktur dan teknologi anti scam agar panggilan penipuan, termasuk yang menggunakan nomor masking, tidak lagi menjangkau pengguna,” tandasnya.
Dirjen Ekosistem Digital Kementerian Komdigi Edwin Hidayat Abdullah menjawab pertanyaan wartawan dalam acara Ngopi Bareng di Press Room, Kantor Kementerian Komdigi, Jakarta, Jumat (14/11/2025). [Foto: Pey HS/Kekomdigi]Kementerian Komdigi juga akan meninjau ulang proses masking serta memetakan alur teknis yang memungkinkan terjadinya manipulasi identitas nomor.
Perhatian khusus diberikan pada jalur panggilan internasional dan penggunaan Session Initiation Protocol (SIP) Trunk yang kerap dimanfaatkan untuk menampilkan nomor lokal palsu.
“Kami meninjau kembali bagaimana proses masking dapat terjadi dan langkah apa saja yang bisa dilakukan agar hal tersebut tidak terulang atau minimal ruang terjadinya sangat kecil,” tegasnya.
Dalam aspek identitas pelanggan, Kemkomdigi mengidentifikasi bahwa proses registrasi SIM card masih menyisakan celah penyalahgunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (KK).
Untuk menutup celah tersebut, kementerian sedang memfinalisasi kebijakan registrasi berbasis pengenalan wajah (face recognition) bersama Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
Menurut Edwin, skema baru tersebut akan memastikan nomor seluler hanya aktif apabila sesuai dengan identitas pemilik sah. “Dalam waktu dekat, registrasi berbasis pengenalan wajah yang bekerja sama dengan Dukcapil akan segera dijalankan,” tuturnya.
Ia juga menyebut urgensi kebijakan ini karena tingginya peredaran nomor telepon di Indonesia. Rata-rata terdapat 500 ribu hingga satu juta nomor baru yang diaktivasi setiap hari, sementara kebocoran identitas NIK dan KK masih terjadi sehingga membuka peluang penyalahgunaan data untuk aktivasi SIM card secara ilegal.
“Setiap hari terdapat sedikitnya 500 ribu hingga satu juta nomor baru yang diaktivasi,” ungkapnya.
Kementerian Komdigi menegaskan bahwa keamanan pengguna merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan industri. Regulasi yang kuat, teknologi keamanan jaringan, dan tata kelola identitas digital menjadi fondasi untuk menjaga ruang telekomunikasi yang aman bagi masyarakat.
“Yang sedang kami rapikan adalah bagaimana industri telekomunikasi tidak hanya tumbuh sehat, tetapi juga memiliki tanggung jawab kuat dalam menjaga pelanggannya,” pungkas Dirjen Edwin Hidayat.