Internasional

Peneliti Bangunkan Kembali Mikroba Berusia 40.000 Tahun yang Tidur dalam Lapisan Es Alaska

05 Oktober 2025 | 08:04 WIB
Peneliti Bangunkan Kembali Mikroba Berusia 40.000 Tahun yang Tidur dalam Lapisan Es Alaska
Ilustrasi Alaska. (copilot-ftnews)

Di fasilitas penelitian US Army Corps of Engineers (lembaga teknik militer Amerika Serikat) di Alaska tengah, ada sebuah terowongan unik menurun ke bawah tanah. Terowongan ini memiliki kedalaman lebih dari 350 kaki (107 meter).

rb-1

Dari dinding sekitar terowongan itu tampak tulang-tulang mamut yang menonjol. Namun, yang menjadi perhatian tim peneliti bukan fosil kuno, tapi sesuatu yang jauh lebih kecil dan berbau. Benda terperangka di es itu mikroba.

Mikroba Lepaskan Karbondioksida

Baca Juga: Resistensi Antibiotik Bakal Jadi "Bom Waktu"

rb-3

Pegunungan es di Alaska. (YouTube UAAnchorage)Pegunungan es di Alaska. (YouTube UAAnchorage)

Ilmuwan geologi Tristan Caro menceritakan bagaimana kondisi di lokasi yang ia dan tim capai. Sebuah ruangan yang menurutnya tak cukup nyaman untuk ditinggali.

“Hal pertama yang Anda perhatikan saat masuk ke sana adalah baunya sangat tidak sedap. Baunya seperti ruang bawah tanah lembap yang dibiarkan terlalu lama,” ujar Tristan Caro dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Popular Science.

Baca Juga: Mikroba dalam Air Mani Dapat Mempengaruhi Kesuburan Laki-Laki, Ini Penjelasannya

“Bagi seorang mikrobiolog, itu sangat menarik karena bau yang khas sering kali berasal dari aktivitas mikroba.”

Setelah menyesuaikan diri dengan bau tersebut, Caro dan rekan-rekannya fokus mengekstraksi sampel permafrost, yang masing-masing mengandung ribuan organisme mikroskopis. Mikroba-mikroba itu telah terperangkap dalam tanah beku selama 40.000 tahun, namun setelah ribuan tahun hibernasi, tiba saatnya mereka “dibangunkan.”

Apa yang dilakukan para peneliti berikutnya akan membantu memahami—dan mungkin mempersiapkan diri terhadap—hal yang tampaknya tak terhindarkan di tengah pemanasan global Bumi.

“Itu adalah salah satu hal yang paling belum diketahui dalam respons iklim,” jelas ilmuwan geologi Sebastian Kopf dari University of Colorado Boulder (CU Boulder).

“Bagaimana pencairan seluruh tanah beku ini—yang kita tahu menyimpan banyak karbon—akan memengaruhi ekologi wilayah tersebut dan laju perubahan iklim?”

Mikroba memakan materi organik dan kemudian melepaskan metana serta karbon dioksida ke atmosfer. Sayangnya, keduanya merupakan gas rumah kaca yang paling kuat dan merusak, yang sedang berusaha dikurangi oleh manusia. Kekhawatiran utama adalah bahwa pencairan permafrost akan melepaskan lebih banyak mikroba, yang akan memperburuk lingkaran setan emisi gas.

“Ini bukan sampel mati. Mereka masih sangat mampu menjalankan kehidupan yang aktif, memecah materi organik, dan melepaskannya sebagai karbon dioksida,” kata Caro.

Untuk melihat apa yang mungkin terjadi seiring kenaikan suhu Arktik, Caro dan Kopf menambahkan air ke dalam sampel. Selain memecah materi organik, mikroba juga menggunakan air untuk membentuk membran lemak yang membungkus semua sel hidup.

Mereka kemudian menginkubasi sampel dari Alaska tersebut pada suhu antara 39 hingga 54 derajat Fahrenheit. Mungkin terdengar tidak terlalu hangat, tetapi suhu itu tetap di atas titik beku—dan sangat panas untuk wilayah Arktik.

“Kami ingin mensimulasikan apa yang terjadi pada musim panas di Alaska, di bawah kondisi iklim masa depan ketika suhu seperti ini menembus lapisan permafrost yang lebih dalam,” kata Caro.

Mikroba Hidup Kembali

Alaska. (YouTube UAAnchorage)Alaska. (YouTube UAAnchorage)Temuan terbaru mereka yang diterbitkan di jurnal JGR Biogeosciences mencatat hasil yang tak terduga. Biasanya, koloni bakteri mengganti seluruh selnya dalam hitungan jam, tetapi sampel permafrost ini memulai proses tersebut dengan sangat lambat—kadang hanya mengganti satu sel per 100.000 per hari. Namun, sekitar enam bulan kemudian, populasi mereka meledak. Beberapa koloni tumbuh begitu besar hingga membentuk zat kental yang disebut biofilm, yang dapat terlihat tanpa mikroskop.

Pada saat yang sama, suhu ternyata berperan lebih kecil terhadap pertumbuhan sel dibanding dugaan awal. Paparan terhadap suhu yang lebih panas secara tiba-tiba tidak terlalu mempercepat reproduksi mikroba. Temuan ini memiliki implikasi besar bagi Arktik karena musim panasnya semakin panjang dan hangat.

“Di Alaska, mungkin ada satu hari yang sangat panas di musim panas, tetapi yang jauh lebih penting adalah lamanya musim panas itu sendiri—ketika suhu hangat ini meluas hingga musim gugur dan semi,” jelas Caro.

Masih belum jelas mengapa mikroba kuno itu berfungsi seperti itu setelah keluar dari hibernasi. Selain itu, belum diketahui apakah awal pertumbuhan yang lambat juga terjadi pada koloni mikroba di wilayah lain di dunia.

“Ada begitu banyak permafrost di dunia—di Alaska, Siberia, dan wilayah dingin utara lainnya. Kami baru mengambil sampel dari satu bagian kecil saja,” kata Caro.

Ada satu masalah besar lain yang juga perlu dipertimbangkan. Meskipun para penulis studi meragukan bahwa sampel mikroba Alaska mereka dapat menginfeksi manusia, mereka tetap berhati-hati dengan menjaga semua proses di lingkungan tertutup dan terkontrol. Namun, spesies bakteri lain yang terbangun dari “tidur panjangnya” di permafrost mungkin tidak akan sejinak itu.

Tag mikroba alaska arktik penelitian

Terkait

Terkini