Psikolog Sebut Putri Candrawathi Idap Rape Trauma Syndrome Usai Dapat Pelecehan Brigadir J
Hukum

Forumterkininews.id, Jakarta - Ahli Psikologi, Dr Reni Kusumowardhani mengatakan Putri Candrawathi mengidap rape trauma syndrome atau trauma korban perkosaan usai adanya dugaan pelecehan yang dilakukan oleh Brigadir J.
Hal ini diungkapkan dirinya saat hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan terhadap lima terdakwa pembunuhan berencana Brigadir J, pada Rabu (21/12).
Awalnya kuasa hukum Putri Candrawathi, Sarmauli Simangunsong bertanya mengenai hasil apsifor yang menjelaskan bahwa ciri kepribadian cenderung menekan ekspresi emosi.
Baca Juga: Demi DKI 1: Bakal Cintai Persija, Ridwan Kamil Berpaling dari Persib?
"Dalam hal ini merujuk hasil Apsifor halaman 152, di mana ahli menjelaskan bahwa dengan ciri kepribadian cenderung menekan ekspresi emosi. Jelaskan hal ini, ibu PC tidak langsung mengekspresikan tersimpan ditekan olehnya? Upaya putri merasa aman dan bertemu Ferdy dan mohon dijelaskan seseorang korban kekerasan seksual beberapa waktu menemui kembali pelakunya?," tanya Kuasa Hukum.
Kemudian Reni menjawab bahwa dalam rape trauma syndrome korban memiliki tiga cara untuk mengungkapkannya.
"Pada rape trauma syndrome itu sindrom korban mengalami kekerasan seksual di mana ada fase akut, segera, kemungkinannya ada tiga," jawab Reni.
Baca Juga: Jangan Percaya Media Sosial, Video Viral Anak Digorok Ibu Ternyata Hoaks
"Pertama, mengekspresikan kemarahannya. Kedua, kontrol satu penekanan yang memang berelasi dengan kepribadian tertentu, menekan rasa marahnya takutnya, malunya dikontrol. Shock this believe dan sulit mengambil keputusan," lanjut Reni.
Sementara itu, ia mengatakan bahwa Putri Candrawathi cenderung mengendalikan emosinya saat berhadapan kembali dengan Brigadir J. Sehingga ia menunda kemarahannya agar bertemu dengan Ferdy Sambo di Jakarta.
"Nah terjadi pada PC berdasarkan teori ini lebih sesuai dengan yang kontrol. Jadi seolah tidak ada emosi, dan seperti tidak ada apa-apa tidak terjadi apa-apa, ini bentuk defence mechanism, tetap tegar, pertahanan jiwa," ucap Reni.
Selanjutnya kuasa hukum mempertanyakan potensi korban kekerasan seksual yang melakukan pelaporan, visum maupun hanya bertahan.
"Berapa persen korban yang melakukan defence, dibandingkan melapor ke polisi atau ke dokter?," kata Kuasa Hukum.
"Jika dilihat dari Indonesian judicial research society, dengan margin error 2 persen. Lebih banyak yang menarik diri, takut, malu merasa bersalah. Ketiga respon. Yang terbanyak tidak melakukan pelaporan, selesaikan sendiri, kendalikan sendiri, gemuruh psikologis yang ada pada dirinya. Sedikit kalau dengan mengekspresikan kemarahan, kalau dari riset yang ada," jawab Reni.
Kemudian ia mengungkapkan bahwa dalam perkara yang diduga dialami Putri Candrawathi, dirinya memiliki support system yang memadai. Dengan kepribadian yang membutuhkan seseorang agar merasa aman dan terlindungi.
"Stigma membuat korban bagaimana saya harus keluar dalam bentuk defence mechanism. Kontrol yang dilakukan Ibu PC harus memiliki support system yang baik. PC support systemnya cukup, saat ada ajudan, orang cukup bisa diandalkan dalam pengamanan, ada keputusan dari dirinya menekan rasa malu, marah, takutnya tadi," lanjut Reni.