TikTok Kalah di Pengadilan: Pengusaha Lokal Bandung Menang Berkat Prinsip First to File
Tidak ada yang menyangka bahwa perusahaan sebesar TikTok Ltd harus mengakui keunggulan seorang pengusaha lokal ketika keduanya berhadapan di ruang sidang Indonesia.
Sengketa ini bukan sekadar perebutan nama dagang, tetapi menjadi pengingat betapa vitalnya melindungi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sejak dini.
Adalah Fenfiana Saputra, pengusaha pakaian bayi dan anak asal Bandung, yang menjadi lawan TikTok. Meski secara skala bisnis tidak sebanding, ia justru tampil sebagai pihak yang sah secara hukum.
Kemenangan Fenfiana kembali mempertegas bahwa sistem HKI Indonesia tidak memandang besar kecilnya perusahaan yang dihitung hanyalah siapa yang lebih dulu mendaftarkan merek.
Akar Masalah: Merek "Tik Tok" Sudah Dimiliki Pengusaha Bandung
Kasus ini bermula ketika TikTok Ltd berencana memperluas lini bisnisnya ke sektor fashion di Indonesia. Namun, rencana tersebut terbentur fakta mengejutkan: nama “Tik Tok” untuk kategori pakaian ternyata telah lebih dulu didaftarkan oleh Fenfiana.
Fakta di persidangan menunjukkan kronologi yang tidak terbantahkan:
-
2007: Fenfiana mendaftarkan merek “Tik Tok” untuk Kelas 25 (pakaian, alas kaki, tutup kepala) di DJKI.
-
2016: TikTok Ltd baru berdiri secara global.
-
2018: Aplikasi TikTok resmi beroperasi di Indonesia.
Artinya, Fenfiana memegang hak legal atas nama tersebut 9 tahun sebelum TikTok lahir, dan 11 tahun sebelum TikTok masuk pasar Indonesia.
TikTok mencoba menggugat dengan alasan kesamaan nama dapat menimbulkan kesan bahwa produk Fenfiana adalah bagian dari merek mereka. Namun, dalil tersebut tidak cukup kuat untuk menumbangkan legalitas pendaftaran yang sah.
Gugatan TikTok Ditolak: Kekuatan pada "First to File"
Ilustrasi Tiktok (Pixabay)Dalam putusannya, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat secara tegas menolak gugatan TikTok Ltd. Hakim menilai bahwa Fenfiana telah mengajukan pendaftaran secara sah dan beritikad baik karena pada tahun 2007, TikTok belum ada sama sekali.
Inilah bukti nyata bagaimana prinsip First to File bekerja di Indonesia. Prinsip ini sederhana:
Siapa yang mendaftarkan mereknya pertama kali, dialah yang memiliki hak penuh.
Tidak peduli sebesar apa perusahaan yang datang belakangan, sistem hukum akan memihak pada pendaftar pertama yang sah. Popularitas global TikTok sekalipun tidak mampu menggugurkan hak merek yang sudah dikantongi Fenfiana jauh sebelumnya.
Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa bisnis digital sekaliber TikTok tetap harus tunduk pada aturan lokal. Besarnya pengaruh atau reputasi internasional tidak dapat melampaui aturan formal HKI yang berlaku di setiap negara.
Pelajaran Penting bagi UMKM dan Startup: Segera Amankan Merek
Ilustrasi TikTok (Pixabay)
Kisah kemenangan Fenfiana mengajarkan bahwa pendaftaran merek bukan formalitas belaka, tetapi fondasi identitas bisnis. Banyak pelaku usaha menunda pendaftaran karena merasa usahanya masih kecil. Padahal, risiko kehilangan nama merek bisa merugikan secara besar-besaran.
Bayangkan bila sebuah brand sudah dikenal masyarakat, memiliki pelanggan, bahkan omzet besar, namun ternyata belum didaftarkan. Lalu ada pihak lain yang lebih dulu mengurus HKI atas nama tersebut. Akibatnya, pemilik asli justru bisa diwajibkan mengganti nama dan kehilangan identitas bisnis yang telah dibangun.
Poin penting yang harus diperhatikan pelaku usaha:
-
Periksa ketersediaan merek: Pastikan nama Anda belum dipakai pihak lain.
-
Daftarkan sedini mungkin: Jangan menunggu bisnis besar.
-
Lindungi identitas brand: Sertifikat merek memberi perlindungan hukum absolut.
-
Patuhi sistem kelas: Setiap pendaftaran mengikuti kategori produk/jasa tertentu.
Kasus TikTok vs Fenfiana menjadi bukti bahwa siapa pun bisa menang asal mematuhi hukum dan bergerak cepat. Di dunia bisnis, satu langkah administrasi bisa menjadi pembeda antara keberhasilan dan kerugian besar. Fenfiana sudah membuktikannya.