Benarkah Rokok Redakan Stres? Ini Bukti Sainsnya
Di banyak lingkungan, rokok sering diposisikan sebagai alat "penyegar" atau pelarian instan saat seseorang merasakan tekanan. Namun, benarkah kebiasaan merokok efektif menurunkan tingkat stres secara nyata? Analisis dari sejumlah studi menunjukkan bahwa klaim tersebut tidak sepenuhnya benar—bahkan dapat berbalik memperparah kondisi psikologis dan fisiologis.
Respons Subjektif vs. Reaksi Fisiologis Tubuh Salah satu penelitian yang sering dikutip adalah studi eksperimental dalam jurnal Psychophysiology. Studi ini menemukan bahwa meskipun perokok melaporkan penurunan stres secara subjektif setelah merokok, respons fisiologis mereka menunjukkan sebaliknya: denyut jantung dan arousal kardiovaskular meningkat segera setelah merokok. Khususnya, dalam kondisi tugas menantang yang memicu stres, perokok melaporkan "merasa lebih tenang" dibandingkan perokok tiruan (sham smoking). Namun, peningkatan aktivitas jantung menunjukkan bahwa tubuh mereka sebenarnya lebih "tertekan" secara fisiologis.
Penelitian lain menggunakan metode pencitraan otak (event-related potentials, ERP) menemukan bahwa merokok dapat menurunkan komponen LPP (late positive potential) yang terkait dengan arousal emosional. Dalam eksperimen, ketika peserta melihat gambar yang menimbulkan stres, mereka yang merokok selama jeda menunjukkan penurunan LPP lebih cepat dibandingkan yang tidak merokok. Ini memberi indikasi bahwa secara neurologis, merokok mungkin "mematikan" respons emosional untuk sementara.
Baca Juga: Waspada! Ini 8 Tanda Kamu di Ambang Kehancuran Mental, Jika Dada Sesak Itu Alarm Bahaya!
Keterbatasan Efek dan Dampak Jangka Panjang Namun, ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa "keuntungan" merokok tersebut bersifat sementara dan terbatas. Sebuah studi dari Annals of Behavioral Medicine menggunakan data harian dari 256 perokok dewasa menemukan bahwa pada hari-hari ketika mereka menghadapi stresor (kejadian penambah tekanan), peningkatan jumlah rokok justru berkolerasi dengan meningkatnya emosi negatif (Negative Affect - NA). Artinya, perokok merasa lebih buruk secara emosional pada hari-hari stres meskipun mereka merokok lebih banyak.
Di populasi remaja, penelitian di Indonesia juga menunjukkan adanya hubungan signifikan antara tingkat stres dengan perilaku merokok. Misalnya, pada kajian di SMK Negeri 1 Padang, hampir setengah dari siswa memiliki tingkat stres sedang dan perilaku merokok moderat, dengan uji Chi-Square menunjukkan adanya keterkaitan signifikan antara keduanya (p < 0,05).
Whatsapp Image 2025 10 23 At 11.59.54 (1)
Baca Juga: Jambu Biji: 7 Manfaat Hebat untuk Imun & Jantung Berikut Cara Konsumsinya
Berdasarkan bukti yang ada, anggapan bahwa "merokok menurunkan stres" hanya berlaku secara subjektif dan temporer, bukan sebagai solusi jangka panjang atau yang sesungguhnya memperbaiki kondisi stres seseorang. Sementara pikiran mungkin merasa "tenang" sesaat, efek fisiologis menunjukkan stres tetap terjadi—bahkan meningkat dalam kondisi stres yang riil.
Para ahli menekankan bahwa merokok justru dapat memperburuk kondisi emosional dan fisik dalam jangka panjang. Oleh karena itu, strategi yang lebih efektif untuk mengelola stres adalah melalui mekanisme sehat seperti olahraga, teknik relaksasi, meditasi, tidur cukup, serta pengaturan pola makan dan aktivitas sehari-hari, bukan menggantungkan pada rokok.