Blibli Kembali Lakukan PHK Massal, Kantor Penuh Tangis dan Perpisahan
Meski demikian, keputusan tersebut tetap menimbulkan kesedihan mendalam bagi para pekerja yang terkena dampak maupun rekan-rekannya yang masih bertahan.
“Susah banget melihat teman-teman satu tim harus pergi. Kita sudah seperti keluarga,” tulis salah satu karyawan di akun LinkedIn pribadinya.
Bukan Kali Pertama, Blibli Sudah Pernah PHK di Awal 2025
Gelombang PHK ini bukan yang pertama kali dilakukan Blibli. Pada Maret 2025, perusahaan juga sempat melakukan pemangkasan tenaga kerja yang berdampak pada sekitar 300 karyawan di empat kota besar.
Kala itu, unit yang terdampak mencakup tim Seller Managing, Seller Activation, Acquisition, dan Development.
Prosesnya berlangsung cepat dan disebut sebagai bagian dari efisiensi menyeluruh di sektor e-commerce Indonesia yang sedang berjuang menekan beban operasional pasca pandemi.
Kini, gelombang kedua PHK di Oktober 2025 menjadi pukulan lanjutan yang lebih berat karena melibatkan jumlah korban lebih besar dan menyebar di banyak divisi penting.
Karyawan Blibli Curhat: “Kami Kehilangan Teman, Bukan Sekadar Rekan Kerja”
Logo Blibli. [Instagram]Di berbagai media sosial, banyak karyawan Blibli menuliskan pesan menyentuh hati.
Mereka bukan hanya merasa kehilangan pekerjaan, tapi juga kehilangan teman seperjuangan yang telah menemani mereka bertahun-tahun.
“Teman-teman yang di-PHK bukan cuma rekan kerja, tapi orang yang selalu ada saat lembur, saat stres, saat kita berjuang bareng,” tulis salah satu karyawan yang masih bertahan.
Banyak pula yang mengaku merasakan kekosongan suasana kantor usai gelombang PHK ini. Kantor yang biasanya penuh tawa kini terasa hening dan berat.
Fenomena PHK di sektor digital dan e-commerce semakin sering terjadi di 2025.
Selain Blibli, beberapa startup dan perusahaan teknologi lainnya juga melakukan langkah serupa akibat tekanan ekonomi global, perubahan perilaku konsumen, serta efisiensi operasional pasca ekspansi besar-besaran di masa pandemi.
Para pengamat ekonomi menilai, situasi ini menjadi fase adaptasi industri digital Indonesia yang kini mulai menyesuaikan diri menuju profitabilitas jangka panjang. Meski pahit, langkah restrukturisasi ini dianggap perlu untuk menjaga keberlanjutan bisnis.