Bolehkah Wali Nikah Tentukan Besar Mahar? Begini Ketentuan Maskawin dalam Islam
Mahar merupakan salah satu unsur penting dalam akad nikah yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan sebagai tanda keseriusan dan tanggung jawab. Pemberian mahar juga menjadi simbol penghormatan dan penghargaan terhadap pihak perempuan dalam pernikahan.
Selain mahar, wali memiliki peran penting dalam prosesi akad nikah sebagai pihak yang menikahkan mempelai perempuan. Kehadiran dan persetujuan wali menandai bahwa sebuah pernikahan dilakukan sesuai syariat dan sah secara hukum agama Islam.
Hal ini terkadang menimbulkan pertanyaan, bolehkah seorang wali nikah menentukan nilai mahar?
Baca Juga: Kasus Wakilkan Wali Nikah via Chatting atau Video Call, Sahkah Pernikahannya?
Larangan Pernikahan Syighar
Ilustrasi Pernikahan Dalam Islam [Ftnews Copilot]Dalam hadits sahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah melarang nikah syighar, yaitu bentuk pernikahan yang terjadi pada masa Jahiliah.
Dalam praktik ini, dua orang wali saling menikahkan perempuan di bawah perwaliannya tanpa mahar, dengan saling menukar pernikahan di antara mereka.
Baca Juga: Benarkah Tak Mengerti Bahasa Arab dalam Ijab Kabul, Pernikahannya Tidak Sah?
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ ﷺ نَهَى عَنِ الشِّغَارِ، وَالشِّغَارُ أَنْ يُزَوِّجَ الرَّجُلُ ابْنَتَهُ عَلَى أَنْ يُزَوِّجَهُ ابْنَتَهُ، وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا صَدَاقٌ
Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar ra: Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang nikah syighar. Adapun syighar ialah seorang laki-laki menikahkan putrinya kepada laki-laki lain dengan syarat laki-laki itu menikahkan putrinya (kepada dirinya). Keduanya tidak memberikan mahar (untuk para perempuan itu).” (Dr. Musa Syahin Lasyin, Fathul Mun’im Syarah Shahih Muslim, [Kairo, Darus Syuruq: 2002], juz V, h.518)
Penjelasan Hadist
Ilustrasi Nikah Dalam Islam. [Ftnews Copilot]Dikutip situs Kementerian Agama, Dr Musa Syahin Lasyin, salah seorang ulama hadits dari Universitas al-Azhar Kairo menjelaskan hadits tersebut dalam karyanya yang berjudul Fathul-Mun‘im Syarh Shahih Muslim. Menurutnya, pada masa Jahiliah, wali perempuan sering menganggap bahwa mahar adalah haknya sendiri, bukan hak perempuan yang dinikahkan.
Ketika Islam datang, praktik zalim ini kemudian dihapus dan ditetapkan bahwa mahar adalah hak penuh perempuan, bukan hak wali. Seorang wali nikah tidak boleh menetapkan nilai mahar tanpa izin dan rida dari pihak perempuan, serta tidak boleh menjadikannya sebagai kompensasi bagi dirinya sendiri.
Dengan demikian, wali tidak memiliki hak untuk menentukan atau memaksakan nilai mahar karena mahar merupakan hak penuh perempuan. Meski begitu, sebagai pihak yang berperan melindungi dan membimbing mempelai perempuan yang akan dinikahkan, wali berhak memberikan nasihat, pertimbangan, dan arahan agar nilai mahar bisa sesuai dengan standar kelayakan dan kemampuan mempelai pria.